Kesepakatan Damai Dagang AS-Tiongkok Diteken, Ini Beberapa Poinnya

Akarat Phasurat/123RF.com
Ilustrasi perang dagang. Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok pada rabu (15/1) sepakat meneken perjanjian perdagangan fase I.
Penulis: Ekarina
16/1/2020, 17.48 WIB

Setelah lama dinanti, kesepakatan perdagangan fase pertama antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok akhirnya diteken pada Rabu (15/1) waktu setempat. Perjanjian perdagangan awal itu diharapkan bisa meredakan perang dagang  yang berlangsung sekitar dua tahun dan mempengaruhi perekonomian negara didunia.

Perjanjian yang ditandatangani oleh Presiden AS Donald Trump dan Wakil Perdana Menteri Tiongkok Liu He itu memberi beberapa keuntungan bagi pihak AS. Salah satunya, berisi komitmen Tiongkok atas pembelian barang dan jasa manufaktur, energi, pertanian AS senilai US$ 200 miliar selama dua tahun dan menindak praktik-praktik yang dikritik pemerintah Trump.

Dikutip dari The New York Times, Trump mengatakan kesepakatan itu merupakan anugerah bagi para petani, sebagai kelompok yang paling terpukul dari perang dagang. Dengan kesepakatan ini, maka Tiongkok berjanji membeli produk pertanian, serta pesawat terbang, farmasi dan minyak dan gas. Adapun nilai komitmen pembelian Tiongkok itu lebih tinggi dari ekspor mereka pada 2017.

(Baca: Pasar Masih Menaksir Dampak Damai Dagang, Bursa Asia Melaju Bervariasi)

Besarnya komitmen pembelian Tiongkok ke AS menimbulkan pertanyaan ke depannya, bagaimana kontrak negara itu dengan negara pemasok lainnya untuk produk-produk seperti kedelai. Lalu apakah pembelian akan mendistorsi pasar komoditas? Wakil perdana menteri Tiongkok, Liu He menyatakan, pembelian barang tersebut telah "berdasarkan permintaan pasar dalam negerinya".

Poin berikutnya yang diatur dalam perjanjian yakni mengenai isu pencurian hak kekayaan intelektual. Dalam dokumen perjanjian disebutkan bahwa para pihak harus memastikan perlindungan dan penegakan hak atas kekayaan intelektual yang adil, memadai, dan efektif.

Masing-masing pihak juga harus memastikan akses pasar yang adil dan merata dari pihak lain yang mengandalkan perlindungan kekayaan intelektual.

(Baca: Faisal Basri: Kesepakatan AS-Tiongkok Tak Pengaruhi Neraca Dagang RI)

Masalah pencurian kekayaan intelektual merupakan salah satu isu krusial yang selama ini diperdebatkan administrasi Trump dalam memulai konfrontasi dengan Negeri Panda.

Kesepakatan itu juga memuat komitmen, untuk menghentikan pemaksaan transfer teknologi perusahaan Amerika ke pesaingnya di Tiongkok. Pasalnya, beberapa perusahaan Paman Sam sebelumnya mengeluhkan bahwa untuk berbisnis di Tiongkok.

Mereka harus menyerahkan teknologi berharga dan rahasia dagang. Adapun hal ini disanggupi Beijing, termasuk ketika perusahaan mengajukan lisensi atau persetujuan pemerintah.

Kesepakatan berikutnya, para pihak akan bekerja secara konstruktif untuk memberikan akses pasar yang adil, efektif, dan tidak diskriminatif penyedia layanan sektor jasa keuangan. Perjanjian tersebut dinilai memberi AS beberapa keuntungan dalam layanan keuangan, termasuk dalam pembayaran elektronik, sekuritas, pengelolaan dana dan asuransi, tetapi banyak dari perubahan ini sudah dikerjakan.

(Baca: AS - Tiongkok Bersiap Teken Kesepakatan untuk Redam Perang Dagang)

Poin perjanjian lainnya juga menyatakan, kedua pihak sepakat harus transparan mengenai mata uang dan menahan diri dari upaya penurunan nilai mata uang (devaluasi)  untuk tujuan kompetitif, termasuk melalui intervensi berskala besar, persisten, sepihak di pasar keuangan.

Kesepakatan ini langsung disambut Tiongkok yang menyebut bakal lebih transparan terkait intervensi di pasar valuta asing.

Untuk mencapai hal ini, negara itu bahkan sepakat untuk merilis ke publik tentang cadangan devisa, impor barang dan jasa triwulanan, yang juga sejalan dengan komitmen yang telah dibuatnya dalam G20 dan IMF.

Di sisi lain, AS beberapa hari sabelum pertemuan juga telah mencabut tuduhan Tiongkok sebagai manipulator mata uang yang sempat membuat konflik kedua negara memanas. 

Dengan adanya kesepakatan ini, diharapkan perang dagang yang telah membebani ekonomi kedua negara serta mengirim angin dingin ke sektor manufaktur AS maupun kinerja ekspor Tiongkok segera berakhir.

Gencatan senjata parsial yang terjadi Rabu kemarin diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan pasar. Kendati kesepakatan dagang memang tak sepenuhnya tuntas lantaran AS masih akan mempertahankan sebagian besar tarif impor senilai US$ 360 miliar kepada Tiongkok.

Namun, pejabat perdagangan AS administrasi mengatakan bahwa mereka tidak akan menaikkan tarif tersebut sampai kedua negara berhasil menyetujui perjanjian fase 2. Ketegangan dalam hubungan yang berkepanjangan dapat mendorong perusahaan-perusahaan Amerika untuk lebih sedikit berbelanja di Tiongkok atau sebaliknya.