Kemenlu akan Panggil Dubes Tiongkok Terkait Perbudakan ABK Indonesia

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Ilustrasi, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. Merespons laporan dugaan perbudakan atas ABK asal Indonesia, Kementerian Luar Negeri akan memulangkan para ABK dan akan memanggil Dubes Tiongkok untuk meminta klarifikasi.
Penulis: Agung Jatmiko
7/5/2020, 10.04 WIB

Merespons laporan perbudakan terhadap anak buah kapal (ABK) asal Indonesia di kapal Tiongkok, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) memfasilitasi kepulangan dan meminta klarifikasi ke pemerintah Tiongkok.

Mengutip Keterangan resmi Kemenlu, Kamis (7/5), klarifikasi akan dilakukan dengan memanggil Duta besar Tiongkok untuk Indonesia. Permintaan klarifikasi ini dilakukan sebab jawaban Kemenlu Tiongkok atas permasalahan ini dirasa kurang memuaskan. 

"Guna meminta penjelasan tambahan mengenai alasan pembuangan jenasah, apakah sudah sesuai dengan ketentuan Organisasi Buruh Internasional (ILO), dan perlakuan yang diterima ABK Indonesia lainnya, Kemenlu akan memanggil Duta Besar Tiongkok," tulis Kemenlu dalam keterangan resmi, Kamis (7/5).

Sebelumnya, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Beijing, Tiongkok, telah menyampaikan nota diplomatik meminta klarifikasi mengenai kasus ini.

Namun, merespons permintaan KBRI Beijing, Kemenlu Tiongkok hanya menyebut pembuangan jenazah dilakukan sesuai praktek kelautan internasional untuk menjaga kesehatan awak kapal lainnya.

Kemenlu mengungkapkan, Pemerintah Indonesia telah memberi perhatian serius terhadap permasalahan yang dialami ABK Indonesia di kapal Long Xin 605, Long Xin 629, dan Tian Yu 8. Diketahui, ketiga kapal tersebut membawa 46 ABK asal Indonesia dan 15 diantaranya berasal dari Kapal Long Xin 629.

(Baca: ABK Indonesia Diduga Alami Perbudakan di Kapal Tiongkok)

Mengutip Antara, Rabu (6/5), sebanyak 14 ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal Long Xing 629, akan dipulangkan ke Indonesia dari Busan, Korea Selatan pada 8 Mei 2020. Para ABK tersebut telah berada di Busan sejak 14 April 2020.

Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha mengatakan, 14 ABK tersebut akan pulang setelah menyelesaikan masa karantina yang diberlakukan oleh Korea Selatan guna mencegah penyebaran virus corona (Covid-19).

“Pihak pemilik kapal sudah menyiapkan tiket pulang untuk tanggal 8 Mei setelah mereka menyelesaikan proses karantina wajib,” kata Judha dalam video conference, dilansir dari Antara, Rabu (6/5).

Sebelumnya, 14 ABK yang bekerja di kapal Tiongkok tersebut kebingungan karena tiga perusahaan yang memberangkatkan mereka tidak bersedia memulangkan. Ketiga perusahaan tersebut antara lain, PT Lakemba Perkasa Bahari, PT Alfira Perdana Jaya, dan PT Karunia Bahari.

Namun, Judha menegaskan, sesuai dengan Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 5 Tahun 2018, penanganan perlindungan tenaga kerja asal Indonesia mengedepankan tanggung jawab pihak terkait. Dalam hal ini, pihak pemilik kapal, pihak agensi, dan agen tenaga kerja di Indonesia.

KBRI di Seoul sebelumnya telah memulangkan 11 ABK pada 24 April lalu, dan saat ini tengah mengupayakan pemulangan jenazah salah satu ABK yang meninggal di rumah sakit Busan akibat pneumonia.

(Baca: Menlu Sebut 72.088 WNI Telah Dipulangkan, Sebagian Besar dari Malaysia)

Kemenlu bersama Kementerian/Lembaga terkait juga telah memanggil manning agency, untuk memastikan pemenuhan hak-hak awak kapal asal Indonesia. Selain itu, Kemenlu juga telah menginformasikan perkembangan kasus dengan pihak keluarga pada ABK.

Sebelumnya, beredar video siaran kantor berita Korea Selatan MBC News, yang melaporkan dugaan terjadinya perbudakan terhadap ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal ikan milik Tiongkok.  Para ABK dilaporkan mendapat perlakuan tidak manusiawi.

Kantor berita asal Korea Selatan, MBC News, pada Rabu (6/5) menayangkan sebuah video yang menggambarkan jenazah seorang ABK asal Indonesia dibuang ke laut. Jenazah tersebut diketahui bernama Ari, berusia 24 tahun, yang meninggal karena sakit.

Selain itu, laporan MBC News juga menanyangkan kesaksian para ABK asal Indonesia terkait kondisi kerja yang tidak manusiawi. Di antaranya, dipaksa bekerja 18 jam sehari bahkan ada yang dipaksa bekerja hingga 30 jam. Mereka diberikan istirahat selama enam jam sehari untuk kesempatan tidur dan makan.

Upah yang diterima pun sungguh tidak layak. Setelah bekerja selama 13 bulan di laut, para ABK tersebut hanya mendapat upah US$ 120 per orang atau Rp 1,8 juta (asumsi kurs Rp 15.000). Artinya, setiap orang hanya menerima kurang lebih Rp 138.000 per bulan selama 13 bulan berada di laut.

(Baca: 366 WNI di Luar Negeri Positif Covid-19, 55 Orang Sembuh)