Langkah Sri Lanka Larang Impor Pupuk Kimia Berujung Krisis Pangan
Gejolak ekonomi, politik, dan sosial di Sri Lanka telah berlangsung berbulan-bulan. Kondisi ini membuat ribuan pengunjuk rasa menyerbu gedung-gedung pemerintah utama di ibukota Kolombo, termasuk kediaman resmi Presiden Gotabaya Rajapaksa pada Sabtu (9/7).
Setelah demonstrasi besar terjadi, Presiden Rajapaksa pun mengundurkan diri. Pengumuman mundur dikatakan oleh ketua parlemen, Mahinda Yapa Abeywardena, yang mengatakan bahwa Rajapaksa akan mundur dari jabatannya pada Rabu (13/7).
Krisis yang menimpa Srilanka akibat kebijakan salah langkah Rajapaksa. Sri Lanka mengalami krisis pangan yang parah setelah pemerintahan Rajapaksa memutuskan melarang impor pupuk kimia secara drastis pada April 2021.
Meski akhirnya kebijakan itu dibatalkan dan impor pupuk diizinkan kembali mulai November 2021, belum ada impor pupuk ke negara itu secara signifikan. “Meskipun mungkin tidak ada waktu untuk mendapatkan pupuk untuk musim Yala [Mei-Agustus] ini, langkah-langkah diambil untuk memastikan stok yang cukup untuk musim Maha [September-Maret],” kata Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe dalam sebuah pesan di Twitter.
Rajapaksa menjelaskan tujuan larangan impor pupuk sintetis adalah meningkatkan pendapatan petani dengan menyediakan pupuk alternatif yang lebih murah dan ramah lingkungan. Sri Lanka juga berusaha mengurangi biaya pengeluaran dari impor yang besar. Namun kebijakan tersebut menjadi masalah karena produsen pupuk organik dalam negeri tak memiliki kapasitas memenuhi permintaan petani.
"Pelaku industri pupuk organik kami tidak memiliki kapasitas (untuk memenuhi seluruh permintaan petani), tapi saya tidak diberitahu. Saya tidak mendapatkan dukungan dari orang-orang yang bertanggung jawab," kata Rajapaksa dikutip dari Bloomberg, 17 Juni lalu.
Dampak Larangan Pupuk Kimia
Setiap tahun Sri Lanka mengimpor pupuk kimia dalam jumlah besar. Berdasarkan data perdagangan Amerika, nilai impor pupuk Sri Lanka pada 2021 sekitar US$ 300 juta - US$ 400 juta. Pada 2020, besarnya pupuk sebanyak 325.000 ton senilai US$ 259 juta.
Adapun, setiap konsumsi pupuk sebanyak 50 kilogram (Kg) oleh petani Sri Lanka disubsidi sekitar 48%-88% oleh pemerintah. Pada 2019, pemerintah Sri Lanka mendistribusikan sekitar 300.000 ton pupuk impor bersubsidi ke petani.
Secara rinci, sebanyak 44% dari total pupuk impor tersebut diserap oleh petani teh, 24% ke petani sayuran, dan 12% diserap oleh petani kelapa. Adapun, sebanyak 20% pupuk impor dibagikan secara merata ke perkebunan karet, buah-buahan, kentan, dan tumbuh ekspor skala kecil lainnya.
Dengan pelarangan impor tersebut, program subsidi secara otomatis terhenti. Petani Sri Lanka diarahkan untuk menggunakan pupuk organik. Akan tetapi, pemerintah belum membuat atau menerbitkan kebijakan strategis terkait peningkatan kapasitas produksi pupuk organik di dalam negeri.
Akibatnya, seluruh industri pertanian mengalami kekurangan pasokan pupuk. Seperti dikutip dari Bloomberg, pendapatan negara dari pajak ekspor anjlok lantaran pasokan teh yang menjadi komoditas utama Sri Lanka karena persoalan pupuk.
Melihat dampak di luar perkiraan itu membuat Presiden Rajapaksa mencabut kebijakan larangan impor pupuk sintetis tersebut per November 2021.
Namun, dampak pencabutan pupuk kimia ini meluas. Mayoritas tanaman pangan di Sri Lanka adalah jenis hybrid yang harus mengonsumsi pupuk sintetis agar memiliki produktivitas maksimal.
Menteri Pertanian Sri Lanka Mahinda Amaraweera mencatat hasil panen beras pada musim panen sebelumnya telah anjlok hingga 50%. Amaraweera memproyeksikan produksi beras sepanjang 2022 dapat turun hingga 50% secara tahunan. Angka ini jauh lebih tinggi dari proyeksi Departemen Pertanian Amerika Serikat atau sebanyak 33% secara tahunan.
Sementara itu, Departemen Pertanian Amerika Serikat memprediksi produksi teh di Sri Lanka dapat turun hingga 35% secara tahunan. Artinya, Sri Lanka akan kehilangan pendapatan pajak senilai US$ 425 juta pada 2022.
Anjloknya produksi beberapa jenis pangan ini membuat inflasi harga-harga makanan melonjak hingga 50%. Tren inflasi di Sri Langka terus menunjukkan kenaikan sejak Oktober 2021. Berikut grafik Databoks:
Untuk menghindari krisis pangan, Amaraweera mengimbau agar masyarakat menanam tanaman pangan di rumah. Amaraweera menilai strategi tersebut merupakan satu-satunya jalan untuk menghindari krisis pangan. Lebih lanjut, pemerintah Sri Lanka meliburkan pegawai negeri sipilnya (PNS) pada Jumat untuk menanam tanaman pangan di rumah.
Untuk menutup kebutuhan pupuk, pemerintah Sri Lanka telah menyetujui pengeluaran senilai US$ 200 juta untuk mengimpor pupuk. Sejauh ini, pemerintah telah mendapatkan dana tersebut dari Bank Dunia dan Bank Penngembangan Asia (ADB) senilai US$ 150 juta. Di samping itu, Export-Import Bank of India telah menyalurkan pinjaman senilai US$ 55 juta untuk pembelian urea.