India Tolak Yuan Cina Gantikan Dolar Amerika dalam Berdagang

ANTARA FOTO/Media Center KTT ASEAN 2023/Dwi Prasetya/foc.
Presiden Joko Widodo (kanan), dan Perdana Menteri India Narendra Modi, berbincang di sela-sela foto bersama KTT ke-20 ASEAN-India di Jakarta, Kamis (7/9/2023).
Penulis: Desy Setyowati
6/7/2024, 11.18 WIB

India menolak usulan Cina untuk berdagang menggunakan yuan sebagai pengganti dolar Amerika Serikat. Keduanya merupakan anggota BRICS, pemain besar ekspor pada 2021 menurut data The Observatory of Economic Complexity atau OEC.

Anggota BRICS di antaranya Brasil, Rusia, India, Cina, Afrika Selatan, Mesir, Iran, Arab Saudi, Uni Emirat Arab atau UEA, dan Etiopia. Rincian nilai ekspornya sebagai berikut:

Dalam KTT Organisasi Kerja Sama Shanghai atau SCO 2024, India menolak usulan Cina untuk mengganti dolar Amerika menjadi yuan dalam bertransaksi. Perdana Menteri India Narendra Modi bahkan tidak hadir dalam KTT, dan mengutus Menteri Luar Negeri Subrahmanyam Jaishankar.

Cina, dengan dukungan dari Rusia, secara agresif mempromosikan dedolarisasi selama KTT SCO 2024. Rusia mendesak penggunaan mata uang lokal seperti yuan dan rubel dalam berdagang.

Perdagangan luar negeri negara-negara anggota SCO lebih dari US$ 8 triliun atau setara seperempat dari seluruh perdagangan global. Negara yang tergabung yakni Belarus, Cina, India, Iran, Kazakhstan, Kirgizstan, Pakistan, Rusia, Tajikistan, dan Uzbekistan.

Afghanistan dan Mongolia bergabung dalam kapasitas sebagai negara pengamat. Lalu, Armenia, Azerbaijan, Bahrain, Kamboja, Mesir, Kuwait, Maladewa, Myanmar, Nepal, Qatar, Arab Saudi, Sri Lanka, Turki, dan Uni Emirat Arab menjadi mitra dialog SCO.

Pada 2022, India menghemat US$ 7 miliar karena membayar minyak Rusia dalam uan dan rubel. Akan tetapi, India menolak bertransaksi menggunakan yuan Cina, dengan alasan pertimbangan strategis dan ekonomi.

Analis menilai, India ingin mempertahankan otonomi keuangan dan menghindari ketergantungan berlebihan terhadap mata uang Cina. Dengan tetap menggunakan dolar, India bertujuan mendukung tatanan keuangan internasional yang mapan dan mengurangi risiko terkait meningkatnya dominasi yuan.

Meski begitu, upaya dedolarisasi Cina mulai membuahkan hasil. Sebanyak 52,9% perdagangan Tiongkok diselesaikan dalam yuan pada Maret.