Chevron tengah mencari cara untuk memangkas pengeluaran sebagai antisipasi rendahnya harga minyak. Langkah tersebut dapat menyebabkan produksi migas perusahaan Amerika Serikat itu lebih rendah pada tahun ini.
Dalam pernyataannya, Chevron menargetkan efisensi hingga US$ 2 miliar melalui penghematan biaya. "Kami sedang mengkaji alternatif untuk mengurangi belanja modal, yang diharapkan dapat menurunkan produksi jangka pendek dan mempertahankan nilai jangka panjang," dikutip berdasarkan laporan Reuters pada Selasa (10/3) .
Sedangkan Chevron Pacific Indonesia (CPI) belum memutuskan langkah antisipasi turunnya harga minyak dunia. Manager Corporate Communications CPI Sonitha Poernomo mengatakan pihaknya masih memantau pergerakan harga minyak.
"Dampak penurunan harga jelas terasa di industri energi. Sulit untuk diprediksi bagaimana ini akan berlangsung di minggu atau bulan ke depan," kata Sonitha ke Katadata.co.id pada Rabu (11/3).
Sebelumnya, perusahaan raksasa minyak tersebut berencana menggelontorkan belanja modal sekitar US$ 19-22 miliar per tahun hingga 2024. Dengan dana tersebut, perusahaan menargetkan produksi minyak mencapai 1 juta barel per hari terutama dari proyek ladang migas serpih (shale) Permin, Amerika Serikat pada pertengahan dekade ini dan terus mempertahankan besaran produksi tersebut hingga 2040.
Chief Executive Chevron Mike Wirth pada pekan lalu masih optimistis bisa mempertahankan pengeluaran dan mengembalikan US$ 80 miliar kepada pemegang saham selama lima tahun ke depan. Dia mengklaim perusahaan dapat menghasilkan minyak dan keuntungan dengan biaya terendah.
(Baca: Dampak Anjloknya Harga Minyak Dunia Terhadap Ekonomi dan Migas RI)
Analis JP Morgan menyebut Chevron membutuhkan harga minyak di kisaran US$ 55 per barel untuk menutupi pengeluaran dalam program kerjanya serta membayarakan dividen dan pembelian kembali saham.
Namun, harga minyak masih berada di level bawah. Berdasarkan data Bloomberg, harga minyak jenis West Texas Intermendiate (WTI) untuk kontrak April 2020 pada pukul 12.08 WIB mencapai US$ 34,74 per barel. Sedangkan harga minyak jenis Brent untuk pengiriman Mei 2020 sebesar US$ 38,12 per barel.
Di sisi lain, langkah Chevron tersebut dilihat sebagai upaya untuk menahan produksi minyak serpih (shale oil). Padahal, produksi minyak serpih yang tumbuh pesat di Amerika Serikat hingga membuat Negara Paman Sam itu menjadi eksportir minyak dalam beberapa tahun terakhir.
Pengeboran minyak serpih memang lebih mudah dibandingkan memproduksi lapangan migas biasa, terutama jika dibandingkan proyek laut dalam yang membutuhkan waktu bertahun-tahun. Sebab, pengeboran migas serpih bisa dengan mudah diaktifkan dan dimatikan hanya dalam beberapa minggu saja.
(Baca: Dampak Turunnya Harga Minyak, SKK Migas Bakal Revisi Program Hulu)