Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) akhirnya buka suara terkait isu Royal Dutch Shell yang akan melepas 35% hak partisipasi di proyek gas alam cair (LNG) Lapangan Abadi, Blok Masela.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menegaskan Shell tidak berencana keluar dari proyek Blok Masela. "Secara informal, Shell Indonesia menyatakan tidak ada rencana penjualan," ujar Dwi saat ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Senin (6/5).
Deputi Operasional SKK Migas Fatar Yani Abdurrahman menambahkan, jika Shell benar akan melepas hak partisipasinya di Blok Masela, maka perusahaan asal Belanda tersebut harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). "ESDM yang memutuskan boleh atau tidaknya melepas. Ya kan banyak pertimbangan," ujar Fatar.
(Baca: Shell Tanggapi Kabar Hengkang dari Proyek LNG Abadi di Blok Masela)
Lebih lanjut Dwi mengatakan, kelanjutan rencana pengembangan proyek Blok Masela tidak akan terganggu jika Shell benar-benar keluar dari proyek tersebut. Menurut dia, proyek itu dipimpin oleh Inpex Corporation sebagai operator, bukan Royal Dutch Shell. "Kan di sana leadnya, Inpex," ujar Dwi.
Fatar menambahkan, Inpex sebagai operator masih berkomitmen untuk mengembangkan Blok Masela . Jika Shell melepas hak partisipasinya, tidak akan mempengaruhi pengembangan blok migas tersebut. "Enggaklah, itu kan komitmennya operator. Inpex operatornya,"ujar Fatar.
Isu Shell Hengkang Jadi Peringatan Bagi Pemerintah
Dosen di FTKE Universitas Trisakti sekaligus Pendiri ReforMiner Institute, Pri Agung mengatakan, isu Shell keluar dari Blok Masela bisa jadi gertakan bagi pemeritah dan pertanda Shell telah menemukan peluang baru di blok migas lain yang lebih menjanjikan.
Apalagi dalam menyusun Final Investment Decision (FID), perusahaan migas multinasional biasanya melihat banyak aspek. Salah satunya kesempatan dan portofolio investasi di blok migas lain.
Karena itu, Pri Agung menyarankan pemerintah untuk lebih memperhatikan kelanjutan proyek Masela. Menurut dia, investasi hulu migas sangat memerlukan kejelasan dan kepastian, selain juga rasionalitas keekonomian. "Kalau tidak kunjung ada kejelasan dan kepastian, rencana investasi proyek yang sudah di depan mata untuk dikembangkan, bisa menjadi mentah kembali," katanya.
Menurut dia, proyek hulu migas tidak hanya dipengaruhi oleh besaran investasi, tetapi juga teknologi yang dikuasai oleh KKKS di blok tersebut. Dalam pengembangan Blok Masela juga terkait dengan penjualan gas dari Lapangan Abadi. "Belum tentu juga nanti Inpex mudah bersepakat dengan pengganti Shell jika Shell benar-benar menarik diri,"ujarnya.
(Baca: Pengamat Peringatkan Risiko Inpex Batal Garap Blok Masela)
Hingga kini, pemerintah dan Inpex masih membahas proposal Plant of Development (POD) Revisi I Blok Masela. Salah satu isu utamanya adalah soal biaya pengembangan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan sempat memperkirakan biaya pengembangan bisa mencapai US$ 20 miliar. Namun Dwi menyatakan, SKK Migas akan berupaya agar biaya pengembangan Blok Masela lebih rendah dari perkiraan tersebut.
Dengan skema onshore, pemerintah menaksir kilang tersebut bisa beroperasi pada 2027. Saat baru menjabat, Dwi sempat menargetkan kilang beroperasi lebih cepat yakni pada 2025.
(Baca: Biaya Tinggi Jadi Alasan Tertundanya Pengembangan Blok Masela)