Ancaman pengerahan kekuatan massa (people power) dengan asumsi terjadi kecurangan dalam Pilpres 2019 yang disampaikan kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dinilai dapat menjadi bumerang. Pengamat politik dari Lingkar Madani, Ray Rangkuti menilai ancaman tersebut membuat masyarakat tidak simpatik kepada Prabowo-Sandiaga.
Apalagi bila kubu Prabowo-Sandiaga tak dapat membuktikan kecurangan tersebut. "Kalau Anda menyelesaikan pelanggaran tidak mekanistik, itu akan blunder buat Anda," kata pengamat politik dari Lingkar Madani, Ray Rangkuti di Jakarta, Kamis (11/4).
(Baca: Narasi Kecurangan dan Potensi Delegitimasi Pilpres 2019)
Ray sendiri menilai kecurangan secara terstruktur sulit terjadi dalam Pilpres dan Pileg 2019. Pasalnya, pemantauan dan pengawasan Pemilu 2019 dilakukan oleh banyak elemen.
Ray mengatakan, saat ini pengawas Pemilu sudah sampai ke tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS). Menurutnya, hal ini berbeda dibandingkan beberapa Pemilu sebelumnya, di mana pengawas hanya sampai tingkat kabupaten.
Jumlah saksi di tiap TPS pun jumlahnya semakin besar dalam Pemilu 2019. Ray mengatakan, saksi yang dihadirkan masing-masing partai politik di setiap TPS berjumlah 16 orang.
Masing-masing pasangan calon di Pilpres 2019 juga ikut menghadirkan saksi di setiap TPS. "Belum lagi saksi yang dihadirkan kandidat caleg DPD," kata Ray.
(Baca: Mendagri Perintahkan Daerah Tangkal Serangan Fajar Pilpres 2019)
Tak hanya itu, berbagai lembaga nirlaba juga berpartisipasi untuk memantau Pemilu 2019. Mereka tak hanya berasal dari dalam negeri, namun juga dunia internasional.
"Jadi sebetulnya dengan begitu banyak varian pengawas, menurut Anda di mana lagi celah kecurangan itu akan terjadi?" kata Ray.
Analis politik dari Exposit Strategic, Arif Susanto juga menilai tak ada kecurangan terstruktur dalam Pilpres 2019. Arif menyatakan kecurangan yang kemungkinan terjadi bukan dilakukan secara sistemik.
Berbagai kecurangan yang ada pun masih dapat ditangani oleh lembaga yang berwenang, seperti Bawaslu, DKPP, polisi, PTUN, hingga Mahkamah Konstitusi. "Bahwa ada kecurangan saat ini iya, tapi kan sudah ada saluran untuk melaporkan," kata Arif.
(Baca: Jelang Pemilu 2019, Investor Khawatir Kondisi Politik Dalam Negeri)
Lebih lanjut, Arif menilai pengerahan kekuatan massa sebenarnya memang dapat dilakukan. Hanya saja, hal itu hanya bisa dilakukan jika terbukti adanya gangguan kebebasan dan kesetaraan.
Jika pengerahan kekuatan masaa dilakukan hanya untuk kepentingan politik tertentu, dia tak yakin hal tersebut dapat terwujud. "Bagi saya ini menunjukkan bahwa elite politik kita ingin menang sendiri," kata Arif.
Narasi memobilisasi massa sebelumnya kerap diutarakan kubu pasangan calon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Narasi ini awalnya digaungkan oleh Ketua Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga, Amien Rais yang mengancam bakal mendorong masyarakat berbondong-bondong bergerak bila terjadi kecurangan dalam Pemilu.
(Baca: Katadata Investor Index: Investor Puas dengan Kinerja Pemerintah)
Menurut Amien, rencana aksinya itu merupakan bagian dari pemberontakan sosial atau social revolt masyarakat kepada penguasa. “Apabila ada kecurangan, kami akan mendorong masyarakat ke Monas,” kata Amien.
Wacana serupa disampaikan Direktur Kampanye BPN Prabowo-Sandiaga, Sugiono. Menurut Sugiono, pihak-pihak yang curang dalam Pilpres 2019 akan berhadapan dengat kekuatan rakyat.
Sugiono mengatakan, rakyat tak akan mau dicurangi dalam kontestasi politik tahun ini. Pasalnya, rakyat saat ini menginginkan perubahan dan pemerintahan yang bersih. Sugiono menyebut rakyat tidak mendapatkan dua hal tersebut di pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla saat ini.
"Masyarakat tidak akan mau dong hak-hak mereka dicuri, dibohongi, kan begitu," kata Direktur Kampanye BPN Prabowo-Sandiaga, Sugiono di The Darmawangsa, Jakarta, Rabu (10/4).