Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menyatakan, insentif bagi usaha mikro, kecil, dan menengah sebaiknya tidak pukul rata. Pemerintah perlu memilah sesuai karakteristik bidang usaha dan tidak menyeragamkan menjadi satu konsep yang terlalu luas.
Penilaian tersebut berlaku juga untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di bidang ekonomi kreatif (ekraf). Mayoritas pelaku usaha kreatif berskala mikro dengan pendapatan kurang dari Rp 300 juta per tahun. (Baca juga: Lebih 90% Usaha Kreatif Berskala Mikro, Pendapatan Kurang Rp 300 Juta)
Selain itu, Yustinus Prastowo selaku pengamat pajak CITA menuturkan bahwa pajak bagi UMKM sebaiknya diakomodir dalam satu peraturan pungutan yang bersifat umum. Bagi mereka yang bisnisnya masih level mikro selayaknya dikenakan pajak nol persen.
"(Buat) pungutan secara umum yang di dalamnya mencakup macam-macam jenis, ini untuk menghilangkan kesan terlalu banyak jenis pungutan. Ini lalu menciptakan efektivitas dan efisiensi," katanya kepada Katadata.co.id, Selasa (15/1).
(Baca juga: Sejumlah Tantangan atas Usul Pajak UMKM Digital 0 % dari Sandiaga Uno)
Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) menyatakan bahwa bersama kementerian/lembaga terkait, sedang dikaji formula insentif pajak maupun nonpajak untuk sektor ekraf. Pasalnya, belum ada skema pelonggaran pajak yang cocok dengan nature business kreatif.
Praktik usaha mikro dan kecil sebetulnya sudah diatur, seperti dalam Peraturan Pemerintah No. 46/2013 tentang penerapan pajak penghasilan (PPh) final untuk UMKM. PPh final turun dari 1 persen menjadi 0,5 persen atas omzet, aturan ini berbatas waktu.
"Masing-masing bidang usaha punya karakteristik sendiri dan butuh skema insentif yang berbeda. Idealnya tarif pajak UKM yang 0,5 persen pun tidak tunggal, karena harus membedakan skala mikro, kecil atau menengah," ucap Yustinus.
(Baca juga: Ditjen Pajak: Hanya 1,5 Juta dari 60 Juta Pelaku UMKM Bayar Pajak)
Sementara itu, Wakil Kepala Bekraf Ricky J. Pesik sempat mengutarakan bahwa untuk merumuskan kebijakan tepat bagi pelaku ekraf perlu mencari rujukan negara lain. Contoh yang disebut adalah Korea Selatan (Korsel) lantaran dinilai sukses mengakselerasi perkembangan sektor kreatifnya.
"Walau kalau dibandingkan Korsel, kita belum sebanding dalam memberi subsidi. Karena masalah jumlah anggaran dan berbagai ketentuan penyaluran APBN ke publik," tuturnya. (Baca juga: Subsidi untuk Industri Kreatif Nasional Belum Sebesar Korsel)
Yustinus sependapat bahwa Korsel layak menjadi rujukan pemerintah dalam mengembangkan ekraf nasional. Pasalnya, budaya Korean Pop (K-pop) terbukti sukses menyebar berbagai negara termasuk Indonesia khususnya melalui karya musik.
"Iya Korea Selatan. Negara ini cukup bagus untuk rujukan (benchmark) ekraf di Asia. Korsel termasuk yang paling maju," ujarnya. (Baca juga: Tiga Musisi Asing Konser Bulan Ini, Tiket Blackpink Termahal)
Korea Foundation sempat menyebutkan terdapat sekitar 35 juta penggemar K-pop tersebar di 86 negara per 2015. Demam kultur populer Korea ini tidak hanya menyebar melalui musik tetapi juga film, produk fesyen, dan kuliner.