Tina Toon hingga Susi, Trik Menyamarkan Suap Meikarta

ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Tersangka selaku Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin (tengah) tiba di kantor KPK, Jakarta, Senin (15/10/2018). KPK menetapkan 9 orang tersangka yang diduga terkait kasus perizinan proyek pembanguan Meikarta di Kabupaten Bekasi yang diantaranya Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin dan Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro dengan barang bukti uang 90 ribu dolar Singapura dan Rp513 juta dengan total komitmen Rp13 miliar.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
19/10/2018, 06.08 WIB

Sejumlah kode digunakan dalam kasus dugaan suap perizinan megaproyek Meikarta di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap beberapa kode dalam perkara tersebut, antara lain 'Tina Toon', 'Melvin', 'Windu', 'penyanyi', dan 'Susi'. Teranyar, KPK menemukan kode baru 'babe'.

Lembaga anti rasuah itu mensinyalir kode-kode tersebut untuk menyamarkan para pihak yang terlibat dalam kasus tersebut. Kode 'Babe', misalnya, diduga untuk menyamarkan salah satu tersangka dari pihak swasta. “Diduga sebagai pemberi (suap),” kata juru bicara KPK Febri Diansyah di kantornya, Jakarta, Kamis (18/10).

Sementara kode lainnya dipakai untuk menyamarkan para pejabat di Pemerintahan Kabupaten Bekasi. Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin mendapatkan panggilan 'Susi' dalam komunikasi para pihak di kasus dugaan suap tersebut. (Baca juga: KPK Geledah Rumah Bos Grup Lippo James Riady Terkait Kasus Meikarta).

 Ada pun 'Tina Toon' diduga menjadi panggilan bagi pejabat setingkat kepala dinas atau kepala bidang. Dalam kasus ini, mereka yang menjadi tersangka yakni Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Jamaludin, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Sahat MBJ Nahor, dan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Dewi Tisnawati, dan Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Neneng Rahmi.

Menurut Febri, kode-kode tersebut dapat bertambah seiring dengan penyidikan yang tengah berlangsung. Kode itu diduga digunakan agar komunikasi mereka tak dapat diketahui langsung siapa saja yang berperan. “Mereka menyapa dan berkomunikasi satu dan lain dengan kode masing-masing,” ujar Febri.

Pemakaian kode ini diyakini agar tak ada yang tahu bahwa pembicaraan mereka mengenai suap terkait perizinan proyek Meikarta. Meski demikian, dia memastikan bahwa KPK akan dapat menelusuri penggunaan kode-kode tersebut. Apalagi lembaga ini punya pengalaman banyak menangani kasus korupsi yang menggunakan sandi-sandi seperti ini.

(Baca juga: Dulu Sebut Izin Meikarta Rampung, Luhut: Banyak yang Saya Tidak Tahu).

Sebelumnya, KPK telah menetapkan sembilan tersangka. Mereka, yakni Neneng, Jamaludin, Sahat, Dewi, Neneng Rahmi. Kemudian, Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro, dua orang konsultan Lippo Group bernama Taryudi dan Fitra Djaja Purnama, serta satu pegawai Lippo Group bernama Henry Jasmen.

Billy, Taryudi, Fitra, serta Henry disangka menyuap Neneng dan empat anak buahnya senilai Rp 7 miliar dari total komitmen fee Rp 13 miliar. Suap diduga diberikan untuk memuluskan berbagai perizinan pada fase pertama proyek Meikarta. 

Setidaknya terdapat tiga fase terkait izin yang sedang diurus untuk proyek seluas 774 hektare tersebut. Fase pertama proyek Meikarta diperkirakan untuk luasan 84,6 hektare. Fase kedua seluas 252 hektare. Sementara fase terakhir terhampar 101,5 hektare.

Billy, Taryudi, Fitra, serta Henry diduga sebagai pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak PIdana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

(Baca: Akhir Kisah Bupati Neneng Tersandung Skandal Suap Meikarta).

Sementara Neneng bersama empat pejabat di bawahnya yang diduga sebagai penerima  disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 atau 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak PIdana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.