Makin Langkanya Premium di Metropolitan Kami

Pertamina
SPBU
Penulis: Muchamad Nafi
12/3/2018, 08.17 WIB

Sudah sepekan imbauan itu tertempel di “dispenser” Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) 34-12306. Manajemen pompa bensin di Jalan Kesehatan Raya, Bintaro, Jakarta Selatan tersebut meminta masyarakat untuk menggunakan bahan bakar  khusus (BBK) milik Pertamina berupa Pertalite dan Pertamax.

“Mengingat keterbatasan BBM (bahan bakar minyak) produk Premium dan Bio Solar,” demikan bunyi lembaran untuk pelanggan di tiap-tiap dispenser bensin. Kebetulan, pada Jumat siang pekan lalu, stok Premium di SPBU ini sedang habis dan menunggu pengiriman baru.

Beberapa waktu terakhir, memang banyak konsumen Premium yang mengeluh dalam memperoleh jenis bensin tersebut. Selain susah menjumpainya seiring sejumlah SPBU yang menghapus penjualan Premium, SPBU yang masih menyediakan pun kerap kehabisan. (Baca pula: Izin Usaha SPBU yang Tidak Jual Premium Terancam Dicabut).

Seperti Abdul Hamid yang Kamis malam dua pekan lalu harus mengisi sepeda motornya dengan Pertalite di SPBU 31.122.03 di kawasan Senayan. Padahal, lelaki 55 tahun yang berprofesi sebagai mitra ojek online ini inginnya membeli Premium.

“Saya kan hidupnya di jalan, jadi tahu susahnya mencari premium,” kata ayah enam anak dan lima cucu ini. Bagi Abdul Hamid, selisih harga Premium dan Pertalite yang terpaut sekitar Rp 1.000 per liter cukup berarti. Dengan mobilitas tinggi, ia mesti bolak-balik ke pompa bensin. Untuk mengisi separuh lebih tanki motornya dengan Pertalite, Hamid mengeluarkan Rp 15 ribu. Nilai rupiahnya dapat lebih sedikit bila ia membeli Premium. “Lumayan sisa Rp 5 ribu bisa buat beli jajan anak.”

Masih maraknya para pencari Premium bisa terlihat di sudut-sudut kota yang SPBU-nya menyediakan bensin jenis ini. Seperti SPBU 31-12402 yang dimiliki dan dikelola Pertamina (company operation company owner/Coco) di bilangan Fatmawati, Jakarta Selatan. Kamis malam itu, sekitar pukul 21.15 WIB, antrean sepeda motor mengular sekitar 15 unit di jalur Premium. Begitu pula antrean mobil yang ekornya hingga ke jalan raya. Kondisi sebaliknya pada lajur Pertamax dan Pertalite.

Rudi, 34, sopir mobil kantor ikut antre untuk membeli Premium. Ia memang disuruh perusahannya tidak membeli Pertalite atau Pertamax kecuali terpaksa. Begitu pula dengan Joko Widodo. Sehari-hari, lelaki paruh baya itu bekerja sebagai sopir angkot. “Memang sengaja. Tapi kalau tidak ada Premium ya terpaksa Pertalite,” ujar pria 66 tahun ini yang namanya sama dengan Presiden Indonesia.

Kini, sebagian besar SPBU secara perlahan memang makin mengurangi penjualan Premium. Bila menimbang pendapatan, para pengusaha SPBU lebih memilih menjajakan Pertalite, Pertamax, atau bahan bakar non-subsidi lainnya. Sebab, keuntungan yang didapat lebih besar dibandingkan ketika menjual Premium. Secara umum, margin dari premium hanya Rp 280 per liter, sementara Pertalite Rp 400 per liter. (Baca juga: BPH Migas Temukan Penyimpangan BBM Satu Harga di Tiga Lokasi).

“Tentu, dari sisi keekonomian, para pengusaha lebih memilih menjual Pertalite,” kata Ketua Umum Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) Eri Purnomohadi kepada Katadata, Kamis (8/03/2018). Karena itu, ia melanjutkan, tak heran bila tak kurang dari separuh SPBU di bawah naungan asosianya tidak lagi menjual Premium.

Selain itu, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Harga Bahan Bakar Minyak, Hiswana tak wajib menjual Premium di Jawa, Madura, dan Bali (Jamali). Adapun untuk wilayah di luar Jamali, PT Pertamina yang dibebani mendistribusikan Premium. “Ini juga menimbang asas keadilan. Kalangan bermobil masa membeli Premium,” ujar Eri.

Mendengar cerita susahnya masyarakat memperoleh Premium, Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik menyatakan saat ini tidak terjadi kelangkaan. SPBU yang menjual Premium masih mendapat alokasi. Bisa dianggap ada kelangkaan, misalnya, kalau Pertalite sampai tidak ada. Di sisi lain, Pertamina mendukung usaha pemerintah dalam menyediakan BBM berkualitas tinggi.

Sementara Vice President Retail Fuel Marketing Pertamina Jumali mengatakan, secara garis besar, SPBU di Jakarta masih mendistribusikan sekitar 40 persen Premium dari total seluruh jenis BBM. Porsi pendistribusian Premium di luar Jamali akan lebih besar untuk menyesuaikan dengan Peraturan Presiden tadi. (Baca: Pertamina Bantah Ada Kelangkaan Premium).

Walau demikian, Pertamina tetap berkomitmen untuk menjual Premium di wilayah Jamali, termasuk di Kota Metropolitan Jakarta. “Kami masih melayani kebutuhan konsumen di Jawa, Madura, Bali, walaupun tidak diwajibkan di Perpres,” External Communication Manager Pertamina Arya Dwi Paramita memberi tambahan keterangan.

Namun, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) rupanya menemukan fakta lain keberadaan Premium di luar Jamali. Anggota Komite BPH Migas Henry Ahmad menyatakan ada kelangkaan Premium di beberapa SPBU, seperti di Riau dan Lampung. Bahkan, hal ini sempat menimbulkan gejolak dan protes masyarakat.

Karena itu, dia meminta Pertamina untuk menindak SPBU yang mengurangi penjualan Premium. Walaupun, dari sisi alokasi memang ada penurunan. Tahun ini, kuota Premium yang diberikan kepada Pertamina sebesar 7,5 juta kilo liter (KL). Biarpun angka ini lebih besar dari yang diajukan Pertamina sekitar 4 juta KL, jumlah tersebut lebih kecil dibandingkan kuota tahun lalu yang mencapai 12,5 juta KL. Pertimbangannya, realisasi penyerapan premium 2017 hanya 5 juta KL.

Menurut Henry, ada beberapa alasan Premium langka. Pertama, ada kekhawatiran daerah kalau kuota tidak cukup sampai akhir tahun sehingga kuota Premium dikurangi. Kedua karena faktor keekonomian tadi, di mana untung dari berjualan Premium lebih tipis.

Pernyataan Henry ini yang diharapkan juga diterapkan di wilayah DKI Jakarta. “Harapannya buat pemerintah ada Premium lagi,” kata Abdul Hamid. “Sebenernya sudah bagus aturan pemerintah agar mobil pribadi beli bensin yang mahal. Tapi namanya orang dagang, biar cepet habis, mobil pribadi juga dilayanin,” ujar Joko Widodo.

Halaman:
Reporter: Anggita Rezki Amelia, Arnold Sirait, Ihya Ulum Aldin