Tiga Tahun Jokowi-JK, Wiranto Mengaku Sulit Tuntaskan Kasus HAM

ANTARA FOTO/Rosa Panggabean
Menko Polhukam Wiranto bersama Menkominfo Rudiantara memberi keterangan pers di Kementerian Koordinator Polhukam, Jakarta, Rabu (12/7).
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
19/10/2017, 19.36 WIB

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengakui selama tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla kesulitan dalam menuntaskan penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Wiranto mengatakan, penyelesaian kasus HAM terkendala dalam pembuktian dan kesaksian.

"Betapa sulitnya kami untuk menyelesaikan tuduhan pelanggaran HAM masa lalu karena sudah begitu panjangnya masa yang dilalui, maka aparat penegak hukum untuk menemukan bukti dan saksi begitu lamanya, dan sudah sangat bias," kata Wiranto di Kantor Staf Kepresidenan, Jakarta, Kamis (19/10).

Penuntasan kasus pelanggaran HAM selama masa pemerintahan Jokowi dan JK dianggap mandeg. Amnesty International menilai banyak kasus pelanggaran HAM masa lalu yang tak diselesaikan, seperti pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib, tragedi 1965, peristiwa Talangsari, dan peristiwa Tanjung Priok.

(Baca: Ryamizard Akan Temui Menhan AS Bahas Dokumen Rahasia Peristiwa 1965)

Bahkan, kasus-kasus pelanggaran HAM baru justru mencuat selama era Jokowi-JK. Amnesty mencatat banyak pelanggaran HAM terjadi melalui penggunaan pasal-pasal pemidanaan represif, seperti pencemaran nama baik, penodaan agama, hingga makar terjadi di Indonesia.

Selain itu, pelanggaran HAM terjadi melalui kasus pengusiran kelompok minoritas agama dan penutupan tempat ibadah seperti yang terjadi pada Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), GKI Taman Yasmin Bogor dan Gereja HKBP Filadelfia. Amnesty juga mencatat pelanggaran HAM muncul akibat pembubaran kegiatan diskusi terkait peristiwa 1965 dan pembentukan Perppu Ormas.

Wiranto mengklaim pihaknya terus melakukan rapat koordinasi untuk menyelesaikan kasus HAM yang terjadi di Indonesia. Adapun untuk mencegah terjadinya friksi di masyarakat, dia menyarankan jika penyelesaian kasus HAM, khususnya tragedi 1965-1966, dilakukan melalui jalur rekonsiliasi.
"Untuk mencegah friksi yang menganggu kami sepakati dengan jalur non-yudisial," kata Wiranto.

Terkait deklasifikasi dokumen rahasia Kedutaan Besar AS di Jakarta mengenai peristiwa 1965, Wiranto menyebut Indonesia tak bisa serta-merta bisa menjadi bukti baru untuk penyelidikan. Menurutnya, dokumen itu mesti ditelusuri kebenarannya lebih dulu.

Halaman: