BPK: Ada Selisih Laporan Belanja Pemerintah Selama 2004-2015

ANTARA FOTO/M. Agung Rajasa
Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara (kanan) bersama Wakil Ketua BPK Bahrullah Akbar (kiri) usai pengucapan sumpah jabatan Ketua dan Wakil Ketua BPK di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, 26 April 2017.
Penulis: Asep Wijaya
Editor: Yura Syahrul
23/5/2017, 12.12 WIB

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan alasan utama pemberian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2016. Opini yang diberikan untuk pertama kalinya dalam 12 tahun terakhir ini karena kesesuaian realisasi belanja negara yang dilaporkan Kementerian/Lembaga (K/L) dengan yang dicatat oleh Bendahara Umum Negara (BUN).

“Suspen atau selisih antara belanja di BUN dan belanja di total belanja K/L sudah tidak ada di LKPP tahun 2016, itulah dasar BPK memberikan opini WTP,” kata Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara, Senin (22/5). (Baca: Laporan Keuangan Kementerian Susi Bermasalah, BPK Duga Dana Fiktif)

Hal ini berbeda dengan periode 2004 hingga 2015 lalu. Selama rentang waktu 15 tahun itu, BPK selalu menemukan perbedaan atau selisih antara belanja yang dilaporkan dengan yang dicatatkan oleh BUN. Alhasil, BPK tidak bisa memberikan opininya (disclaimer) atau Tidak Menyatakan Pendapat (TMP) terhadap LKPP selama tahun 2004-2009. Sedangkan pada periode 2010-2015, BPK menyematkan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atas laporan keuangan pemerintah pusat.

Pada audit tahun 2015, BPK masih menemukan selisih pencatatan belanja dalam LKPP sebesar Rp 71,9 miliar. Jumlah itu pun diperoleh setelah melakukan koreksi. Sebelumnya, besaran selisih belanja antara yang dilaporkan dengan yang dicatatkan mencapai Rp 200 miliar. "Selama ada suspen, laporan keuangan tidak akan bisa disematkan opini WTP sampai kapanpun," ujar Moermahadi.

Menurut dia, belanja negara yang tercatat di BUN sebelum tahun 2016 selalu tidak sama dengan yang tercatat di laporan K/L. Pada akhir tahun, kementerian/lembaga biasanya baru menyadari ada selisih dan mulai mencari kesesuaian saat itu. Dalam kurun waktu yang singkat, K/L dituntut untuk menyelesaikan segera selisih tersebut.

Namun, pada tahun lalu, masalah tersebut tidak lagi terjadi. ”Pada LKPP tahun 2016, suspen sudah tidak ada dan LKPP tahun ini jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya,” ujarnya. (Baca: Pertama Dalam 12 Tahun, Keuangan Pemerintah Pusat Raih Opini Wajar)

Moermahadi yakin, perbaikan laporan keuangan terjadi karena pemerintah pusat telah membangun bank data tunggal atau single database melalui e-rekon (rekonsiliasi elektronik) dan sistem informasi penyusunan LKPP yang lebih baik. Dengan begitu, selisih angka belanja negara bisa diminimalisasi.

Selain ketiadaan selisih dalam laporan belanjanya, laporan keuangan pemerintah pusat berhasil memperoleh opini WTP karena telah menindaklanjuti lima temuan BPK pada tahun sebelumnya. Pertama, ketidakjelasan Penyertaan Modal Negara (PMN) pada PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) terkait Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan No. 8 (ISAK 8).

Kedua, penetapan Harga Jual Eceran (HJE) solar yang melebihi harga dasar. Ketiga, piutang bukan pajak yang tidak didukung dokumen. Keempat, penatausahaan persediaan. (Baca: BPK Minta Pemerintah Tindak Lanjuti 14 Temuan Laporan Keuangan)

Kelima, ketidakakuratan pencatatan/fiskal. “Semua poin temuan yang harus ditindaklanjuti pada LHP LKPP 2015 sudah semua dipenuhi,” kata Auditor Utama II BPK, Bahtiar Arief.

Sekadar informasi, BPK memeriksa 87 laporan keuangan kementerian/lembaga negara (LKKL) dan satu Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara (LKBUN) tahun 2016. Pemeriksaan dilakukan dalam kurun waktu dua bulan (April-Meil 2017).

Sebanyak 74 LKKL (termasuk LKBUN) memperoleh opini WTP. Sementara 8 LKKL mendapatkan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dan 6 LKKL disclaimer (Tidak Menyatakan Pendapat).

Delapan LKKL yang memperoleh WDP dari BPK, yakni Kementerian Pertahanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, BKKBN, KPU, Badan Informasi Geopasial, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dan Lembaga Penyiaran Publik RRI.

Sedangkan enam LKKL yang disematkan disclaimer oleh BPK yaitu, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Komnas HAM, Kementerian Pemuda dan Olah Raga, Lembaga Penyiaran Publik TVRI, Bakamla, dan Badan Ekonomi Kreatif.