Beda Kerugian Negara E-KTP, Ketua BPK Tak Persoalkan Versi BPKP

ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Aktivis yang tergabung dalam Masyarakat Sipil Prihatin Mega Korupsi KTP elektronik (E-KTP) menggelar aksi di depan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Minggu (12/3).
13/3/2017, 13.33 WIB

Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Harry Azhar Azis tak mempersoalkan keputusan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menggunakan hitungan kerugian negara versi Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam kasus megakorupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP).

Menurut Harry, pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) yang berhak memutuskan, apakah hitungan kerugian negara versi BPK atau BPKP yang akan digunakan. "Itu terserah pengadilan, karena pemutus terakhir di pengadilan," katanya di Jakarta, Jumat (10/3) lalu.

Sebelumnya, pada November 2016, Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2016 tentang pemberlakuan rumusan hasil rapat pleno kamar MA Tahun 2016 sebagai pedoman pelaksaan tugas bagi pengadilan. Dalam surat tersebut, MA menyebutkan bahwa instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian negara adalah BPK.

Adapun, BPK dan BPKP memiliki hitungan kerugian negara yang berbeda dalam proyek e-KTP. BPK mengeluarkan angka Rp 2,5 triliun, sementara BPKP lebih kecil yakni Rp 2,3 triliun. (Baca juga: Sidang BPK Akan Bahas Nasib Auditor yang Terjerat Kasus Suap E-KTP)

Di pengadilan, jaksa memaparkan, nilai proyek e-KTP sebesar Rp 5,9 triliun. Setelah dipotong pajak sebesar 11,5 persen, nilai proyek itu dibagi dua. Pertama, 51 persen dari anggaran atau sebesar Rp 2,6 triliun akan digunakan untuk modal kerja pembiayaan proyek e-KTP. Sedangkan sisa 49 persen atau Rp 2,5 triliun akan dibagi-bagikan.

Harry mengatakan, pihaknya belum bisa memastikan, apakah nantinya pihaknya akan diminta memberikan cap untuk menyatakan persetujuannya atas hitungan BPKP sebagai formalitas. “Tapi, kalau memberikan cap, kami harus teliti juga, apa sejumlah itu, apa lebih besar,” ujarnya. (Baca juga: Kemenkeu dan BPK Periksa Pegawai Tersangkut Kasus E-KTP)

Menurut dia, pihaknya juga bisa saja mengundang lembaga yang berwenang untuk mencari model penghitungan kerugian negara secara bersama-sama, "Mungkin kami bisa minta undang untuk mencari modelnya," katanya.