Heboh Kenaikan Biaya STNK, Pemerintah Dinilai Kurang Koordinasi

ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto
Petugas melayani masyarakat yang mengurus surat kelengkapan kendaraan bermotor di kantor Samsat, Malang, Jawa Timur, Rabu (4/1).
Penulis: Miftah Ardhian
Editor: Yura Syahrul
5/1/2017, 19.19 WIB

Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada kepolisian, telah menghebohkan masyarakat. Peraturan yang memuat lonjakan kenaikan biaya pengurusan surat-surat kendaraan bermotor, seperti STNK, BPKB, dan SIM, dinilai sebagai kecerobohan dan kurangnya koordinasi antarlembaga pemerintah dalam menerbitkan aturan.

Koordinator Advokasi dan Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Apung Widadi mengatakan, adanya saling lempar tanggung jawab perihal usulan kenaikan biaya pengurusan dokumen kendaraan tersebut mencerminkan tidak adanya koordinasi yang baik antara Kementerian Keuangan, Kepolisian, dan lembaga pemerintahan lainnya dalam menyusun peraturan ini.

Apalagi, melalui pernyataannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) malah mempertanyakan kenaikan biaya pengurusan dokumen kendaraan tersebut yang mencapai 300 persen dari tarif awal. (Baca: Kapolri: Usulan Kenaikan Biaya STNK Lebih Banyak dari DPR)

Menurut Apung, hal itu menunjukkan tidak adanya uji publik atau kajian mendalam mengenai rencana tersebut. "Ini yang menandakan ada yang tidak selesai dalam konteks ini. Tidak ada transparansi dalam rencana kenaikan ini," katanya dalam konferensi pers menanggapi PP 60/2016 itu di Jakarta, Kamis (5/1).

Ia pun menuding, pemerintah saat ini tidak memiliki perhatian terhadap nasib masyarakat. Kenaikan tarif pengurusan STNK, BPKB, dan SIM ini juga bersamaan dengan pencabutan subsidi listrik pelanggan 900 VA yang tidak termasuk golongan miskin dan rentan miskin.

Alhasil, kebijakan-kebijakan itu akan memunculkan keresahan masyarakat dan dapat menumbuhkan angka kemiskinan. "Kemarin dan hari ini orang berbondong-bondong mengurus STNK dan SIM sebelum 6 Januari mendatang. Mereka berebut bayar karena sedikit kenaikan saja akan terasa buat masyarakat kecil," ujar Apung.

(Baca: Jokowi Didesak Batalkan Kenaikan Tarif Pengurusan STNK)

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengungkapkan, Presiden menyinggung persoalan lonjakan tarif tersebut dalam sidang kabinet paripurna di Istana Bogor, Jawa Barat, Rabu (4/1). Presiden meminta agar tarif PNBP untuk pelayanan masyarakat jangan naik terlalu tinggi.

“Janganlah naik tinggi-tinggi. Apa iya harus naik sampai 300 persen?” kata Darmin mengutip pernyataan Presiden, di Jakarta, Rabu malam (4/1). Padahal, peraturan itu diteken oleh Jokowi pada 2 Desember 2016.

Sementara itu, Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyatakan, kenaikan biaya pengurusan surat-surat kendaraan bermotor itu berdasarkan pertimbangan dari beberapa lembaga terkait. “Jadi tidak hanya Polri yang menaikkan harga," katanya, seperti dikutip dari situs Sekretariat Kabinet, Rabu (4/1).

(Baca: Sudah Teken Peraturan, Jokowi Minta Tarif STNK Jangan Naik Tinggi)

Menurut dia, kenaikan tarif itu berangkat dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menganggap harga material sudah naik. "Material itu untuk STNK, BPKB, zaman 5 tahun lalu segitu, sekarang sudah naik."

Kenaikan tarif juga diusulkan oleh Badan Anggaran (Banggar) DPR, yang menilai biaya di Indonesia termasuk yang terendah di dunia. Jadi, tarifnya perlu dinaikkan.