Sri Mulyani Sebut Kerja Sama dengan JP Morgan Tak Menguntungkan

ARIEF KAMALUDIN I KATADATA
Penulis: Desy Setyowati
3/1/2017, 16.54 WIB

Mulai tahun ini pemerintah memutuskan hubungan kerja sama dengan JP Morgan Chase Bank NA sebagai bank persepsi dan dealer utama obligasi negara. Keputusan mengakhiri kontrak kerja sama ini sudah berdasarkan evaluasi yang dilakukan Kementerian Keuangan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak menyebutkan secara gamblang mengenai keputusan tersebut. Dia hanya menyiratkan bahwa kerja sama dengan bank investasi asal Amerika Serikat (AS) ini tidak menguntungkan. (Baca: Riset Dianggap Ganggu Stabilitas, JP Morgan Diputus Pemerintah)

“Kami kerja sama kalau dianggap ini menguntungkan. Jadi harus simetris,” kata dia saat konferensi pers Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 di kantornya, Jakarta, Selasa (3/1).

Dia merasa pemerintah sudah melalukan berbagai perbaikan dalam hal ekonomi, melalui pemotongan anggaran atau menurunkan target penerimaan, agar APBN lebih kredibel. Namun, upaya ini tidak disebutkan dalam riset JP Morgan tersebut. Pemerintah berharap perbaikan semacam ini juga menjadi pertimbangan bank atau lembaga lainnya dalam membuat sebuah kajian, termasuk JP Morgan.

“Saya berharap (perbaikan-perbaikan) ini memberi sinyal bahwa negara ini diurus dengan baik, benar, dan sungguh-sungguh. Kami jaga Republik Indonesia ini dengan profesional, tidak berarti seluruhnya sempurna. Tapi kami lakukan kerja sama secara akuntabel,” ujarnya.

Sri Mulyani mengaku pihaknya sudah menerima banyak bentuk tanggapan mengenai perekonomian Indonesia. Namun, tidak seperti yang dituliskan oleh JP Morgan. Sebagai mitra, seharusnya JP Morgan bisa lebih profesional, terbuka, dan bertanggung jawab terhadap hubungannya dengan Indonesia.  (Baca: Kementerian Keuangan: JP Morgan Buat Riset Tak Kredibel)

Direktur Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kementerian Keuangan Robert Pakpahan mengatakan instansinya memang sangat mempertanyakan langkah JP Morgan menurunkan dua peringkat portofolio aset Indonesia dari overweight menjadi underweight (kurang berbobot). Menurutnya kajian ini tidak berdasarkan pada penilaian yang akurat dan kredibel.

“Karena cara kerjanya enggak kredibel dan akurat, kami pikir as a partner (sebagai mitra) kami putus saja. Kami cabut saja, karena enggak profesional sebagai partner pemerintah yang sangat penting posisinya,” ujar Robert. 

Kerja sama yang diputus oleh pemerintah ini terkait JP Morgan sebagai dealer utama Surat Utang Negara (SUN), peserta lelang surat utang syariah negara, anggota panel joint lead underwriter untuk menerbitan global bond, dan sebagai penerima pajak bank persepsi. Hingga kajiannya dinilai layak, pemerintah akan mengkaji kembali hubungan kerja sama ini.

Dalam kesempatan lain, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW. Martowardojo enggan menanggapi keputusan pemerintah mengenai pemutusan kerja sama ini. Dia merasa hal ini merupakan kewenangan pemerintah. (Baca: Darmin Dukung Sri Mulyani Putuskan Hubungan dengan JP Morgan)

“Enggak ada (yang bisa dilakukan BI) karena ini kan hanya sebagai satu bank yang terdaftar, boleh untuk melakukan (menerima) pembayaran pajak itu, sekarang tidak diteruskan,” kata Agus. 

Meski begitu, Agus memastikan pemutusan hubungan kerja sama ini akan mengurangi potensi pendapatan yang diperoleh JP Morgan sebagai bank persepsi. Sebab, sebanyak 70 persen penerimaan Indonesia masuk ke rekening di bank persepsi.

Untuk diketahui, keputusan pemerintah mengakhiri hubungan tersebut telah disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada JP Morgan melalui surat bertanggal 17 November 2016. Direktorat Jenderal Perbendaharaan juga mengakhiri kerja sama dengan JP Morgan sebagai bank persepsi per 1 Januari 2017. Alhasil, JP Morgan tidak boleh lagi menerima setoran penerimaan negara Indonesia dari siapapun.

Pada 13 November 2016, JP Morgan memang membuat riset mengenai kondisi pasar keuangan di Indonesia pasca terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS). Dalam riset yang dikutip oleh blog Barron’s Asia, situs berita investasi berpengaruh asal AS, JP Morgan menyebutkan imbal hasil surat utang tenor 10 tahun naik dari 1,85 persen menjadi 2,15 persen pasca terpilihnya Trump.

Kenaikan tingkat imbal hasil dan gejolak pasar obligasi ini mendongkrak risiko premium di pasar negara-negara yang pasarnya berkembang (emerging market). Hal ini memicu kenaikan Credit Default Swaps (CDS) Brasil dan Indonesia, sehingga berpotensi mendorong arus dana keluar dari negara-negara tersebut.

Bersandarkan kepada riset tersebut, JP Morgan merekomendasikan pengaturan ulang alokasi portofolio para investor. Sebab, JP Morgan memangkas dua level rekomendasi Indonesia dari “overweight” menjadi “underweight”. (Baca: Sepekan Efek Trump, BI: Rp 16 Triliun Keluar dari Indonesia)

Sebelumnya, pemerintah juga telah menjatuhkan sanksi kepada JP Morgan terkait hasil risetnya yang dinilai merugikan Indonesia. Riset berjudul "IDR rates: Will positioning risk catch up with INDOGBs" yang diterbitkan 20 Agustus 2015, merekomendasikan agar investor mengurangi kepemilikan di surat utang Indonesia. (Baca: Gara-Gara Riset, Pemerintah Jatuhkan Sanksi ke JP Morgan)