Penandatanganan kontrak Blok East Natuna terancam molor dari target waktu yang sudah direncanakan. Penyebabnya, pembahasan syarat dan ketentuan kontrak di antara anggota konsorsium kontraktor blok itu masih berjalan alot.
Direktur Hulu PT Pertamina (Persero) Syamsu Alam mengatakan, konsorsium kontraktor bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus membahas mengenai kontrak Blok East Natuna. Dalam pembahasan tersebut memang terdapat perbedaan pandangan yang cukup tajam. (Baca: Pemerintah Siapkan Insentif Agar Blok East Natuna Cepat Produksi)
Perbedaan pandangan ini mengenai syarat dan ketentuan untuk kontrak Blok East Natuna. “Salah satu anggota konsorsium belum bisa menerima Term and Condition yang diminta oleh Pemerintah," ujar Syamsu kepada Katadata, Jakarta, Selasa (29/11).
Namun, dia tidak mau menyebut anggota konsorsium yang belum sepakat dengan syarat dan ketentuan kontrak yang diajukan pemerintah. Selain Pertamina yang menjadi pemimpin konsorsium, anggota konsorsium kontraktor blok tersebut, yakni ExxonMobil dan PTT EP Thailand.
Berbeda dengan anggota konsorsium, Pertamina tidak keberatan dengan yang diajukan oleh pemerintah. “Secara konsep sudah dapat menerima. Secara prinsip, Pertamina juga sudah siap untuk memulai membahas detail terms and condition East Natuna," kata Alam.
Dalam kesempatan terpisah, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM I.G.N. Wiratmaja Puja juga mengakui ada perbedaan pendapat yang cukup tajam antara pemerintah dengan salah satu anggota konsorsium. Untuk itu perlu mencari solusi dan mendiskusikan mengenai kontrak. (Baca: Exxon dan PTT Belum Sepakat, Kontrak Blok East Natuna Terancam)
Wiratmaja juga tidak bisa menyampaikan target penandatanganan kontrak Blok East Natuna. “Target November tapi banyak hal belum bisa diselesaikan. Sedang dibuat lagi pembahasannya,” ujar dia saat berbincang dengan wartawan di Jakarta, Senin (28/11).
Sebelumnya, Direktur Hulu Migas Kementerian ESDM Tunggal mengatakan, pemerintah menginginkan agar produksi minyak di blok tersebut didahulukan dibandingkan produksi gas bumi. Alasannya, gas bumi di Blok East Natuna memiliki kadar karbondioksida mencapai 72 persen sehingga membutuhkan teknologi yang mahal untuk memproduksi gas.
Sementara produksi minyak Blok East setidaknya bisa dilakukan tiga tahun lagi. Apalagi, potensi minyak di Blok East Natuna mencapai 36 juta barel (MMBO).
Tunggal menyatakan, Pertamina secara prinsip tidak mempermasalahkan konsep tersebut. Bahkan, sudah ada kesepakatan mengenai bagi hasilnya. Dalam draf kontrak tertulis, bagi hasil untuk negara sebesar 60 persen untuk minyak. (Baca: Blok East Natuna Bisa Produksi Minyak Tiga Tahun Lagi)
Di sisi lain, mitra Pertamina dalam konsorsium tersebut yakni ExxonMobil dan PTT EP, masih belum membuat keputusan. “Mereka ingin jadi satu kesatuan antara gas dan minyak,” ujar Tunggal.