Jokowi Sebut Lima Tantangan Hebat Negara Muslim

Cahyo | Biro Pers Sekretariat Kepresidenan
Penulis: Desy Setyowati
3/8/2016, 11.04 WIB

Dalam pergerakan dunia termutakhir, Presiden Joko Widodo menyebutkan ada lima tantangan hebat yang menghadang negara-negara muslim. Pandangan tersebut dia sampaikan pada Selasa, 2 Agustus 2016, ketika membuka World Islamic Economi Forum (WEIF) ke-12, di Jakarta.

Menurutnya, hambatan yang dimaksud berupa terorisme, perlambatan ekonomi, ketimpangan, dan rendahnya teknologi. Tahun ini, perdagangan global memasuki titik terendah sejak Perang Dunia II. Kondisi tersebut dimulai dengan berubahnya kebijakan ekonomi Cina dari berbasis investasi menjadi konsumsi.

Kemudian, diikuti oleh keluarnya Inggris dari Uni Eropa yang dikenal dengan sebutan Britain’s Exit (Brexit). Hal itu menciptakan ketidakpastian baru dari sisi moneter, sehingga banyak bank sentral menurunkan suku bunga acuannya hingga negatif. (Baca juga: Tiga Langkah Sri Mulyani Dorong UMKM).

“Dari US$ 10 triliun obligasi pemerintah yang beredar di seluruh dunia, dua pertiga dari total outstanding itu memiliki suku bunga di bawah nol persen,” kata Jokowi di Jakarta Convention Center.

Tantangan lainnya yakni terorisme yang terjadi di berbagai belahan dunia. Situasi politik pun menjadi sulit diprediksi. Kemiskinan dan ketimpangan juga menjadi aral lainnya bagi perekonomian negara muslim. (Baca: Pemerintah Jokowi Dinilai Masih Hadapi Risiko Perekonomian).

Melihat kondisi ini, Jokowi mengimbau masyarakat muslim dunia harus mengggunakan kekuatan fundamentalnya untuk menangani hambatan-hambatan tersebut. Misalnya, mayoritas penduduk muslim berusia muda di kisaran 23 - 33 tahun semestinya menjadi konsumen terbesar dunia.

Negara muslim juga harus memanfaatkan industri keuangan syariah yang nilainya sudah jutaan dolar Amerika Serikat. Sebab, peminat instrumen syariah seperti sukuk atau perbankan syariah juga tinggi. Namun untuk mengatasi ganjalan-ganjalan itu, diperlukan inovasi dan konsistensi yang kuat. (Lihat pula infografik: Si Miskin Kian Merana).

Sebab, saat ini dunia terintegrasi, sementara itu pertarungan persepsi hanya bisa dimenangkan oleh yang menguasai teknologi baik melalui media, sosial media, ataupun jaringan komunikasi lainnya. “Kita hidup di era penuh, yang membuat inovasi tidak lagi bisa ditinggalkan. Hidup di zaman penuh ketidakstabilan, ada ketidaksetaraan pendapatan yang tidak pernah ada sebelumnya.”