“Masih mengkaji ulang situasi dan tidak ada hal fundamental yang menjadi keputusan baru,” ujar dia. (Baca: Kementerian ESDM Percepat Kembangkan 10 Blok Migas di Natuna)

Saat ini ada juga tujuh blok yang sudah masuk dalam eksploitasi. Tujuh blok tersebut yakni Cakalang yang dioperatori Lundin Cakalang B.V, Kakap yang dioperatori Star Energi (Kakap Ltd), Natuna Sea Block “A” dengan operator Premier Oil Natuna Sea B.V, Northwest Natuna oleh Santos Netherlands B.V, Sembilang oleh PT Mandiri Panca Usaha, Sout Natuna Sea Block B oleh ConocoPhillips Inc, dan Udang Block oleh Pertamina EP.

Total produksi dari blok tersebut yakni untuk gas 489,21 juta kaki kubik (mmscfd), sementara minyak dan kondensat 25.447 barel per hari. Adapun total cadangan gasnya 4 tcf, untuk minyak dan kondensat mencapai 201.401 mmstb.

Di sisi lain, ada 10 blok migas yang statusnya masih eksplorasi. Bahkan, Blok East Natuna belum memiliki kontrak bagi hasil. Yang ada hanya konsorsium yang dipimpin oleh Pertamina dan mitra lainnya yakni ExxonMobil dan PTT Thailand.

Blok ini belum memiliki kontrak, karena dianggap belum ekonomis untuk dikembangkan. Penyebabnya kandungan karbondioksida (CO2) yang ada di sana sangat tinggi mencapai 72 persen. Padahal volume gas di tempat atau Initial Gas in Place (IGIP) sebesar 222 triliun kaki kubik (tcf), dan cadangan terbuktinya 46 tcf.

Agar bisa komersial CO2 tersebut harus dipisahkan menggunakan teknologi yang sangat mahal.  Pemerintah akhirnya menawarkan skema bagi hasil sliding scale kepada calon pengelola Blok East Natuna. (Baca: Pemerintah Tawarkan Skema Baru Bagi Hasil Blok East Natuna)

Sliding Scale adalah konsep bagi hasil yang progresif berdasarkan akumulasi jumlah produksi. Jadi, dengan skema ini jika produksinya semakin besar maka bagi hasil yang didapat negara ikut bertambah. Begitu juga sebaliknya.

Halaman: