Skema Pembentukan Holding Energi Dinilai Tidak Tepat

Arief Kamaludin|KATADATA
Penulis: Miftah Ardhian
3/6/2016, 18.59 WIB

Skema sinergi tersebut bisa melalui merger antar BUMN yang memiliki lini bisnis yang sama. Fahmy mencontohkan, merger antara PGN dengan anak usaha Pertamina yaitu Pertagas perlu dilakukan. Hasil merger ini harus membentuk suatu perusahaan baru yang sejajar dengan Pertamina.

Dia tidak setuju jika Pertamina ditunjuk sebagai holding. Apalagi dengan menunjuk Pertamina menggantikan fungsi dan kewenangan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). 

“Di dalam tubuh Pertamina masih ada mafia-mafia migas yang berkeliaran. Dengan penambahan wewenang Pertamina, akan memunculkan lahan-lahan baru bagi mafia untuk masuk kedalamnya," ujar Fahmy. (Baca: Bahas RUU Migas, DPR Usulkan Pembubaran SKK Migas)

Atas dasar ini, Fahmy mendesak pemerintah untuk membatalkan rencana pembentukan holding BUMN  energi saat ini. Dia juga meminta pemerintah untuk mengkaji ulang rencana dan mekanisme pembentukan holding ini dan mendirikan BUMN baru yang sahamnya 100 persen dikuasai negara untuk menjadi perusahaan induk usaha.

Pandangan mengenai rencana pembentukan holding yang dinilai terburu-buru juga diungkapkan Ketua Departemen Ristek Energi dan Sumber Daya Mineral Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Lukman Malanuang. Dia berpendapat, rencana holding yang ada saat ini merupakan aksi korporasi sesaat.
Seharusnya, pembentukan holding ini tidak hanya untuk konsolidasi aset, revenue, dan profit. Namun, harus diproyeksikan untuk menjawab target tercapainya bauran energi minimal pada 2025 yakni EBT sebesar 23 persen, minyak bumi 25 persen, batu bara minimal 30 persen dan gas bumi 22 persen.

"Sikap terburu-buru dalam pembentukan holding energi atau migas ini menunjukan pemerintah tidak punya roadmap dalam mengembangkan sektor energi," ujar Lukman. (Baca: Bentuk Tim, Pertamina dan PGN Sinergikan Investasi)

Halaman: