Dalam draf  Peraturan Presiden (Perpres) tentang harga gas tersebut, penurunan harga gas bervariasi. Untuk harga gas di hulu yang besarannya sekitar US$ 6 sampai US$ 7 per MMBTU, penurunannya sebesar US$ 1. Sementara penurunan harga gas di atas US$ 8, sebesar US$ 2 per MMBTU.

Untuk merealisasikan hal tersebut, pemerintah juga sedang merevisi perjanjian jual beli gas (PJBG). Saat ini Kementerian ESDM tengah mengkaji revisi harga atas 31 kontrak gas. Jumlah kontrak gas yang direvisi harganya kemungkinan masih bisa bertambah, mengingat masih ada beberapa lagi yang akan diseleksi.

Di tempat yang sama, Deputi Menko Bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra Irawady berharap kebijakan penurunan harga gas tersebut dapat dirasakan manfaatnya oleh pelaku industri kecil. Terlebih lagi industri yang selama ini menggantungkan usahanya pada pasokan bahan baku gas.

Saat ini ada empat jenisindustri yang diusulkan mendapat prioritas penurunan harga gas. Pertama, industri yang menggunakan gas sebagai bahan baku, seperti pabrik pupuk dan petrokimia. Kedua, industri strategis. Ketiga, industri yang menggunakan gas dalam proses produksinya. Jadi dalam pembuatan produk, fungsi gas tidak dapat digantikan. Keempat, industri manufaktur yang memiliki banyak pekerja. Namun, semua itu masih dalam tahap pembahasan oleh pemerintah. "Ini belum diputuskan," Imbuh Edy.

Harga gas yang mahal juga sempat dikeluhkan oleh Menteri Perindustrian Saleh Husin. Menurut dia, mahalnya harga gas membuat industri pengguna gas di dalam negeri sulit bersaing di pasar dunia. (Baca : Harga Gas Mahal, Industri Sulit Bersaing). Dia juga membandingkan harga gas di Indonesia dengan beberapa negara ASEAN. Harga gas di tiga negara ASEAN seperti Thailand, Singapura dan Malaysia, hanya sekitar US$ 4 per juta british thermal unit (mmbtu). Sementara di Indonesia, harganya bisa lebih dari US$ 8 per mmbtu.

Halaman:
Reporter: Anggita Rezki Amelia