Indonesia kemungkinan akan memasuki masa defisit gas mulai tiga tahun ke depan atau pada 2023. Eksplorasi yang terbatas membuat produksi migas terus berkurang.
Direktur Pembinaan Program Migas Kementerian ESDM Soerjaningsih mengatakan suplai gas secara nasional bakal turun sangat drastis dalam beberapa tahun ke depan. Jika tidak ada proyek baru dan rencana pengembangan blok migas yang berjalan, pasokan gas yang ada tak akan cukup memenuhi kebutuhan domestik.
"Memenuhi kontrak gas eksisting saja dari 2023 sudah tidak mampu," ujar Soerjaningsih dalam diskusi virtual yang diadakan Energy Academy Indonesia pada Senin (18/5).
(Baca: Pelaku Migas Pesimistis Target 1 Juta Barel Minyak Tahun 2030 Tercapai)
Pemerintah mengharapkan produksi migas pada pada proyek eksisting yang memiliki cadangan cukup besar. Adapun proyek yang bakal jadi andalan pemerintah yaitu Tangguh Train 3, Masela, dan Indonesia Deep Water Development (IDD).
"Ada juga potensial suplai dari 30 proyek," kata dia. Namun, Soerjaningsih tidak menyebut besaran potensi suplai gas dari 30 proyek tersebut.
Namun, proyek besar yang menjadi andalan pemerintah, belum tentu dapat segera produksi. Anggota Badan Anggaran DPR RI Kardaya Warnika menilai investor masih ragu menanamkan modalnya di Indonesia.
Penyebabnya mengenai ketidakpastian bisnis yang sangat tinggi di Indonesia. Padahal, kepastian hukum merupakan syarat utama.
"Dengan adanya kebijakan yang tidak konsisten, investor takut masuk ke negara ini. Kebijakan yang maju mundur itu menakutkan," kata Kardaya.
(Baca: SKK Migas Hentikan 80 Blok Migas yang Gagal Temukan Cadangan Baru)
Kardaya menyebut investasi di Indonesia tak lagi menarik, terlihat dari keluarnya sejumlah perusahaan migas dari Indonesia. "IDD itu kapan datangnya? Investor yang di situ saja sudah hengkang apalagi yang baru," kata Kardaya.
Untuk menarik investasi, Kardaya menyarankan pemerintah membuat kebijakan dan perencanaan yang konsisten. Sebab, kebijakan energi di Indonesia terlalu sering berubah.
Terlalu seringnya perubahan kebijakan membuat sulitnya investasi untuk eksplorasi. Tanpa ada eksplorasi tak ada penemuan cadangan migas.
(Baca: SKK Migas: Indonesia Masih Dilirik Oleh Perusahaan Migas Kelas Kakap)
Sedikitnya Temuan Cadangan Migas Baru
Defisit gas sebenarnya cerminan kurangnya upaya menemukan cadangan migas baru. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau SKK Migas mencatat reserve replacement rasio hingga kuartal I 2020 hanya 47,5 MMBOE, atau sebesar 6% dari target tahun ini yang sebesar 123%.
Cadangan pengganti tersebut didapat dari penemuan migas pada kuartal I 2020 yang mencapai 136,5 MMBOE. Penemuan tersebut berasal dari potensi minyak di sumur PB-02 sebesar 61,8 MMBO. Kegiatan yang dilaksanakan oleh Texcal Mahato itu belum diuji coba.
(Baca: Tertekan Harga Minyak, Pertamina Tunda Pengeboran Sumur Eksplorasi)
Selain itu, ada penemuan cadangan gas sebesar 79 BCFG dari pengeboran sumur Bronang-02 di Laut Natuna. Medco sebagai operator proyek tersebut memproyeksikan dapat memproduksi gas dari penemuan tersebut sebesar 15 mmscfd. Temuan itu merupakan kelanjutan dari pengembangan Lapangan Forel yang berpotensi menambah produksi hingga 10 ribu bopd.
SKK Migas juga mencatat ada potensi cadangan gas dari sumur Wolai-02 yang ada di Sulawesi. Estimasi produksi dari kegiatan yang dioperatori Pertamina EP itu mencapai 13 mmscfd.
Sedangkan jumlah investasi untuk eksplorasi pada tahun ini hanya sebesar US$ 1,2 miliar total investasi hulu migas sebesar US$ 13,8 miliar. Hingga kuartal I 2020, realisasi investasi eksplorasi hanya mencapai US$ 120 juta.
Praktisi Migas Tumbur Parlindungan mengatakan kurangnya kegiatan eksplorasi di Indonesia mengakibatkan sedikitnya temuan baru. Untuk meningkatkan kegiatan eksplorasi, pemerintah harus membuat iklim investasi migas yang lebih menarik dibandingkan negara lain.
Tumbur menyebut pemerintah memang sudah membenahi aturan industri migas. Namun, pembenahan juga ditempuh negara lain. "Negara lain juga melakukan hal yang sama atau mungkin lebih baik," ujar Tumbur ke katadata.co.id pada Rabu (20/5).
(Baca: SKK Migas Lengkapi Data Lapangan Migas Demi Tarik Investasi)
Akibat kurang menariknya iklim investasi di Indonesia, Tumbur menyebut, penggunaan teknologi terbaru juga sulit diimplementasikan. Padahal, penggunaan teknologi selalu diupayakan oleh kontraktor migas sesuai keekonomian lapangan.
Penggunaan teknologi baru tersebut penting untuk menganalisa data akuisisi dan interpretasi. Dengan begitu, kontraktor migas bisa mendapatkan ide baru dalam menemukan cadangan.
Agar iklim investasi migas lebih baik, Tumbuh mengatakan pemerintah harus menyinkronkan regulasi sehingga ada kepastian hukum. Hal tersebut baru bisa terwujud jika dilaksanakan oleh lintas kementerian.
Sebab, sektor migas tak hanya berhubungan dengan Kementerian ESDM. Selain itu, pelaku usaha juga membutuhkan insentif berupa keringanan pajak. "Hal itu bisa memecahkan masalah lebih dari 50%," kata Tumbur.