Berbagai elemen masyarakat mengupayakan pembatalan UU Cipta Kerja atau omnibus law. Ada sejumlah opsi yang digulirkan, yaitu melalui uji legislasi (legislative review), uji materil dan uji formil, serta penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Terbaru, PP Muhammadiyah berharap pelaksanaan UU ini dapat ditunda demi menciptakan suasana yang tenang dan adanya kemungkinan perbaikan.
Penundaan ini dinilai wajar lantaran sebelumnya pernah ada UU yang ditunda pelaksanaannya karena masalah kesiapan hingga penolakan masyarakat. “Terhadap masukan tersebut, Presiden akan mengkaji dengan seksama,” kata Sekretaris Umum Muhammadiyah Abdul Mu’ti usai bertemu Presiden Joko Widodo, Rabu (21/10).
Bagaimanapun, Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan, Mantan Walikota Solo itu tidak akan mengkaji penundaan atau revisi UU Cipta Kerja. Pernyataan Jokowi pada Muhammadiyah dianggapnya sebatas basa-basi.
"Menurut saya, Presiden cuma merespons secara normatif saja. Tidak ada makna sama sekali. Ibarat kalau orang bertamu, tidak mungkin langsung disuruh pulang," kata Bivitri saat dihubungi Katadata, Kamis (22/10).
Menurutnya, proses penyusunan revisi UU tidak mudah. Usulan revisi harus datang dari pemerintah atau DPR. Sebab, pembentuk undang-undang hanya dapat dilakukan oleh dua komponen tersebut. Sementara, masyarakat hanya dapat memberikan usulan kepada DPR atau pemerintah.
Sebagaimana diketahui, revisi UU memerlukan proses yang sama dengan pembentukan UU. Berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, perencanaan penyusunan UU memerlukan penyusunan program legislasi nasional (prolegnas). Penyusunan prolegnas tersebut dilaksanakan oleh DPR dan pemerintah.
Adapun, proses penyusunan prolegnas di lingkungan DPR dilakukan dengan mempertimbangkan usulan fraksi, komisi, anggota DPR, DPR, atau masyarakat. Sedangkan, penyusunan prolegnas di lingkungan pemerintah dikoordinasikan oleh menteri urusan pemerintahan di bidang hukum.
Prolegnas tersebut ditetapkan untuk jangka menengah dan tahunan. Meski begitu, DPR, DPD, atau presiden dapat mengajukan rancangan UU di luar prolegnas bila mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, bencana alam, atau keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional.
Bivitri juga mengingatkan UU Cipta Kerja merupakan keinginan Jokowi. "Secara politik dia sudah tidak mau lakukan apapun," ujarnya.
Hal itu bisa dilihat dari upaya pemerintah mengebut penyusunan berbagai aturan turunan omnibus law. Simak Databoks berikut:
Judicial dan Legislative Review
Lalu, bagaimana dengan peluang judicial review? Dua pekan setelah pemerintah bersama DPR mengesahkan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau omnibus law pada 5 Oktober lalu, permohonan pengajuan uji formil dan material di Mahkamah Konstitusi (MK) terus bertambah.
Hingga Selasa (20/10) terdapat empat permohonan uji formil dan material atas UU Cipta Kerja. Bagaimanapun, ini juga bukan proses yang mudah dan singkat.
Ahli Tata Hukum Negara Refly Harun mengatakan, masyarakat bisa memiliki perspektif positif dengan memercayai independensi Mahkamah Konstitusi (MK) saat melakukan uji formil. Di sisi lain, ia juga mempertanyakan sejauh mana independensi MK.
Menurutnya, revisi UU MK yang memperpanjang masa jabatan hakim konstitusi menjadi 15 tahun. "Jadi independensi hakim digantungkan oleh kekuasaan karena hakim-hakim sudah diberi hadiah," ujar dia.
Kalaupun lolos, keputusan MK memang bersifat final dan menikat. Namun, kehendak pemerintah untuk menindaklanjuti putusan MK juga patut dipertanyakan.
Ia mengambil contoh, MK memperbolehkan calon independen untuk maju dalam pilkada. Namun, saat itu pemerintah tidak serta merta merevisi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 usai putusan berlaku. "Akhirnya pilkada di daerah besar lewat tanpa calon independen," katanya.
Selain empat permohonan uji materi yang sudah masuk, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) akan mengajukan gugatan yang sama ke MK dengan diiringi unjuk rasa. "Bahkan tidak menutup kemungkinan, dua hari sebelum penyerahan sudah dilakukan aksi," ujar Presiden KSPI Said Iqbal dalam konferensi pers secara virtual, Rabu (21/10).
Selain itu, KSPI juga berupaya membatalkan UU Cipta Kerja melalui legislative review. Iqbal mengatakan, ia telah menyurati 9 fraksi di DPR untuk meminta legislative review terhadap omnibus law UU Cipta Kerja.
Mereka berharap dukungan dari Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak draf tersebut saat paripurna pada 5 Oktober 2020 lalu. "DPR jangan buang badan, tolong dicatat. DPR jangan buang badan, khususnya 2 fraksi yang menolak keras omnibus law UU Cipta Kerja," kata Iqbal.
KSPI mengirimkan surat tersebut pada Selasa (20/10) dengan tembusan kepada pimpinan DPR, pimpinan MPR, serta pimpinan DPD. KSPI mengacu pada UUD 1945 dan UU Nomor 15 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (PPP) dalam mengajukan legislative review.
"Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 20 Ayat 1 UUD 1945, DPR memegang kekuasaan membentuk UU, sehingga oleh sebab itu DPR berwenang membuat sebuah UU baru untuk membatalkan UU Cipta Kerja melalui proses legislative review," ujarnya.
Meski begitu, ada pesimisme karena parlemen saat ini dikuasai oleh koalisi pendukung pemerintah. Anggota DPR Fraksi Demokrat Benny Kabur Harman menyatakan, menggulirkan legislative review itu seperti memasukkan DPR ke lubang jarum. "Sia-sia. Ada berapa fraksi di DPR? Tidak mungkin," katanya.
Hal senada diungkapkan oleh Wakil Ketua Fraksi PKS Mulyanto. Ia ragu upaya uji ulang atau legislative review UU Cipta Kerja bisa gol. "Dengan konfigurasi politik di DPR yang ada sekarang, hasilnya kurang optimis untuk dapat disetujui," ujarnya.