SP3 Kasus Korupsi Perdana KPK untuk Sjamsul Nursalim, Apa Alasannya?

TEMPO/ Bernard Chaniago
Sjamsul Nursalim tersangka kasus BLBI, saat datang ke gedung Bundar Kejaksaan Agung untuk menjalani pemeriksaan, Jakarta, 9 April 2001. KPK setop penyidikan Sjamsul pada Kamis (1/4).
1/4/2021, 18.19 WIB

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menghentikan penyidikan dugaan Tindak Pidana Korupsi kepada Sjamsul Nursalim dan istrinya yakni Itjih Sjamsul Nursalim. Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) ini baru pertama kalinya terjadi sepanjang keberadaan komisi antirasuah tersebut.

Sjamsul merupakan tersangka kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). KPK beralasan penghentian penyidikan bagian dari usaha memberi kepastian hukum dalam penegakan hukum. “Penghentian penyidikan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 40 Undang-Undang KPK,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis (1/4).

Lebih lanjut KPK menjelaskan, "Penghentian penyidikan ini sebagai bagian adanya kepastian hukum dalam proses penegakan hukum sebagaimana amanat Pasal 5 UU KPK, yaitu dalam menjalankan tugas dan wewenangnya KPK berasaskan pada asas kepastian hukum."

SP3 kepada Sjamsul dan istrinya ini tak lepas dari bebasnya mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung. KPK menyatakan kasus tersebut sudah tak memenuhi syarat yang melibatkan perbuatan Penyelenggara Negara.

Sedangkan Sjamsul dan Itjih terjerat sebagai orang yang diduga melakukan perbuatan bersama Syafruddin. “Maka KPK memutuskan menghentikan penyidikan perkara,” ujar Alexander

Adapun Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan Syafruddin pada Juli 2019 silam. Putusan ini merupakan vonis lepas berkekuatan hukum pertama terhadap terdakwa kasus korupsi yang telah divonis oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Dengan kata lain, ini pertama kalinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kalah dalam proses kasasi MA.

Kasus  ini bermula ketika Sjamsul dan istrinya, Itjih, menandatangani penyelesaian pengambilalihan pengelolaan Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) dengan BPPN melalui Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA) pada 21 September 1998. Dalam MSAA tersebut, disepakati bahwa BPPN mengambil alih pengelolaan BDNI.

Sjamsul yang merupakan pemegang saham pengendali BDNI bertanggung jawab menyelesaikan kewajibannya, baik secara tunai atau berupa penyerahan aset. Jumlah kewajiban yang harus diselesaikannya mencapai Rp 47,25 triliun.

Namun, kewajiban Sjamsul tersebut dikurangi dengan aset sejumlah Rp 18,8 triliun, termasuk di dalamnya pinjaman kepada petani (petambak) udang Dipasena sebesar Rp 4,8 triliun.

 Masalah dimulai ketika Sjamsul mempresentasikan aset pinjaman kepada petambak itu seolah sebagai piutang lancar. Belakangan baru diketahui aset tersebut tergolong macet sehingga dipandang terjadi misrepresentasi.

BPPN merespons dengan mengirimkan surat yang menyatakan bahwa ada misrepresentasi atas aset dan meminta Sjamsul menambah aset untuk mengganti kerugian yang diderita BPPN. Namun, pemilik Gajah Tunggal itu menolak.

Pada Oktober 2003, BPPN dan Itjih yang mewakili Sjamsul menggelar rapat guna menghapusbukukan piutang petambak PT. Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT. Wahyuni Mandira (WM). Dalam pertemuan itu, Itjih menyebut suaminya tak melakukan misrepresentasi.

 Persoalan sisa piutang kepada petambak ini juga dibawa kepada Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri dalam rapat terbatas pada Februari 2004. Namun, Syafruddin ketika itu tidak melaporkan kondisi misrepresentasi dari Sjamsul.

Meski rapat tak menyetujui hapus buku utang, pada 12 April 2004 Syafruddin dan Itjih memutuskan kewajiban tersebut rampung lewat Akta Perjanjian Penyelesaian Akhir. Syafruddin pun menandatangani surat keterangan lunas Nomor SKL-22/PKPS-BPPN/0404 perihal Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Sjamsul pada 26 April 2004.

 Ini membuat hak tagih atas utang petambak Dipasena hilang.  BPPN lantas menyerahkan pertanggungjawaban aset pada Kementerian Keuangan yang berisikan hak tagih utang petambak PT. DCD dan PT. WM.

Oleh Direktorat Jenderal Anggaran Kemenkeu, pertanggungjawaban aset itu kemudian diserahkan kepada PT PPA yang hanya menjual hak tagih utang petambak Rp 220 miliar walaupun semestinya mencapai Rp 4,8 triliun. Angka inilah yang  dipermasalahkan sehingga menyeret Sjamsul Nursalim dan Syafruddin.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) lalu melakukan audit investigatif yang menyimpulkan adanya indikasi penyimpangan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI oleh BPPN meski Sjamsul belum menyelesaikan kewajiban secara keseluruhan. Berangkat dari situ, KPK menetapkan Syafruddin sebagai tersangka dengan dugaan ia menyebabkan kerugian keuangan negara pada 2017. 

Reporter: Rizky Alika