Menelusuri Sejarah Bank Indonesia Berawal dari De Javasche Bank

Adi Maulana Ibrahim|Katadata
Gedung Bank Indonesia (BI), Jalan M. H Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (26/2/2020).
Editor: Safrezi
7/12/2021, 13.22 WIB

Bank Indonesia berfungsi sebagai bank sentral dalam mengelola bidang moneter di Indonesia. Dasar hukum Bank Indonesia adalah Undang‑Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang telah mengalami beberapa kali perubahan dan diperbarui terakhir dalam Undang‑Undang Nomor 6 Tahun 2009.

Sejarah Bank Indonesia dimulai sejak zaman kolonial pada abad ke-16 hingga proses nasionalisasi De Javasche Bank yang merupakan cikal bakal Bank Indonesia. Seiring berjalannya waktu, Bank Indonesia terus berprogres dan memiliki berbagai kewenangan sesuai perundang-undangan.

Sejarah Uang di Indonesia

Setelah melintasi beberapa pulau di Nusantara sejak berangkat dari Malaka pada bulan November 1511, armada Portugis tiba di Maluku pada tahun 1512. Menurut buku Uang Kuno, mereka mengedarkan uang pasmat dan real dari perak.

Kemudian, pada masa pemerintahan Belanda di abad ke-17, VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) didirikan. Berdasarkan publikasi Bank Indonesia, sejak berdirinya VOC terdapat bank pertama di Nusantara, yaitu Bank van Courant.

Bank ini berdiri pada tahun 1746 untuk menunjang kegiatan perdagangan. Tugasnya untuk memberikan pinjaman dengan jaminan emas, perak, perhiasan, dan barang-barang berharga lainnya.

​Pada tahun 1752, Bank van Courant disempurnakan menjadi De Bank van Courant en Bank van Leening. Bank ini bertugas memberikan pinjaman kepada pegawai VOC agar mereka dapat menempatkan dan memutarkan uang mereka pada lembaga ini. Hal ini dilakukan dengan iming-iming imbalan bunga​.​

Kemudian di tahun 1783, VOC mulai menerbitkan uang kertas yang berbentuk sertifikat bernama Rijksdaalders. Menurut buku Perkembangan Uang Dalam Sejarah Indonesia, uang kertas ini dicetak di Batavia karena kebutuhan uang dengan nominal besar.

Namun, VOC mengalami bankrut dan dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799. Setelah VOC dibubarkan, kekuasaan kolonial di Indonesia diambil alih oleh Gubernur Jenderal Daendels.

Daendels memerintahkan agar koin-koin dicetak dengan nama rasa L.N. (Louis Napoleon) baik dengan huruf blok maupun dengan hiasan. Ia juga membuka percetakan mata uang baru di Surabaya yang mengakibatkan berhentinya percetakan uang di Batavia.

Koin pertama yang dicetak di surabaya adalah koin tembaga dengan tulisan "JAVA 1806" serta lambang VOC di baliknya. Meski tertera tahun 1806, koin tersebut baru dicetak pada bulan Februari 1807.

Mulai tahun 1811 hingga 1816, Indonesia mengalami peralihan pemerintahan akibat perang Koalisi. Kekalahan Perancis menyebabkan lepasnya wilayah Hindia Belanda sehingga diganti oleh Inggris. Pemerintah Inggris mencetak uang kertas dengan nominal 2 sampai dengan 20 Rijksdaalders. Uang tersebut dicetak di Ambon, Batavia, Banda dan Ternate.

Pada tahun 1814 diadakan Konferensi London yang berisi pengambilan kembali wilayah jajahan Hindia Belanda kepada kolonial Belanda. Pemerintah Belanda mulai mencetak mata uang Gulden oleh percetakan Johan Enshede en Zonen.

Uang dicetak menggunakan kertas bergaris berbentuk persegi dengan ukuran sekitar 10 x 13 cm. Nominal yang tersedia adalah 1, 5, 10, 25, 50, 100, 300, 600, dan 1.000 Gulden.

Pendirian De Javasche Bank

Merujuk buku Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, De Javasche Bank didirikan pada tanggal 24 Januari 1828 oleh Pemerintah Belanda. Pendirian tersebut dilakukan oleh Komisaris Jenderal Du Bus de Gisingnies atas perintah Raja Belanda Willem I dengan surat perintah Nomor 85 tanggal 29 Desember 1826.

Pada tahun 1827, Pemerintah Belanda mencetak uang seri Bilyet Javasche Bank. Tampilannya memiliki tulisan “Oots Indien” dengan nominal 25, 50, 100, 200, 300, 500 dan 1.000 Gulden. Uang ini menggunakan pengaman tanda air De Javasche Bank.

De Javasche Bank memperoleh octrooi yaitu hak untuk mencetak dan mengedarkan uang. Terhitung mulai 1 Januari 1828 sampai dengan 31 Maret 1921, De Javasche Bank bertugas sebagai bank sirkulasi Gulden untuk wilayah Hindia Belanda.

Berdasarkan buku Pengantar Kebanksentralan: Teori dan Kebijakan, tercatat sebanyak tujuh kali terjadi perpanjangan hak octrooi. Pada tahun 1922, Pemerintah Belanda mengeluarkan Undang-Undang Javasche Bank (De Javasche Bank Wet) untuk melakukan perluasan fungsi sekaligus memperpanjang pemberian hak octrooi.

Perluasan fungsi De Javasche Bank meliputi:

  • Mengeluarkan uang kertas.
  • Memberikan layanan jasa bank (pengiriman uang, rekening giro/deposito, negosiasi wesel luar negeri, kredit, diskonto wesel luar negeri).
  • Menjadi kasir dan memberikan kredit kepada pemerintah.
  • Menyelenggarakan kliring antar bank.
  • Melaksanakan pengawasan bank.Prof. Dr. Bustari Muktar dalam buku Bank dan Lembaga Keuangan Lain menjelaskan, pimpinan De Javasche Bank adalah direksi yang terdiri dari seorang presiden, sekurang-kurangnya dua direktur, satu diantaranya adalah sekretaris.

Selain itu, terdapat jabatan presiden pengganti I, presiden pengganti II, direktur pengganti I, dan direktur pengganti II. Penetapan jumlah direktur ditentukan dalam rapat bersama antara direksi dan dewan komisaris.

Pada periode ini, De Javasche Bank terdiri dari tujuh bagian, meliputi bagian ekonomi statistik, sekretaris, bagian wesel, bagian produksi, dan bagian efek-efek. De Javasche bank berkembang pesat dengan 16 kantor cabang, antara lain di Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Malang, Kediri, Kutaraja, Medan, Padang, Palembang, Banjarmasin, Pontianak, Makassar, dan Manado, serta kantor perwakilan di Amsterdam dan New York.

Kedatangan Jepang ke Indonesia

Merujuk buku Perkembangan Uang Dalam Sejarah Indonesia, Jepang berhasil menguasai Indonesia pada tahun 1942. Masa kolonial Hindia Belanda yang berlangsung lama mewajibkan masyarakat untuk berbahasa Belanda.

Pemerintah Jepang kemudian mulai mencetak uang kertas sendiri menggunakan Bahasa Belanda. Mata uang yang digunakan tetap Gulden. tetapi, Pemerintah Jepang mulai mengadaptasi nominal yang serupa dengan mata uang Jepang.

Prof. Dr. Bustari Muktar dalam buku Bank dan Lembaga Keuangan Lain menjelaskan, Jepang mendirikan Nanpo Kaihatsu Ginko sebagai bank sirkulasi di Pulau Jawa. Tugasnya adalah mengedarkan uang invasi Jepang yang dicetak dalam tujuh denominasi, mulai dari satu hingga sepuluh Gulden.

Mengutip buku Sistem Pemerintahan Indonesia, Pemerintah militer Jepang berupaya meningkatkan penggunaan mata uangnya sehingga terjadi inflasi, terutama mulai tahun 1943 dan seterusnya. Pada pertengahan tahun 1945, mata uang Jepang bernilai sekitar 2,5 persen dari nilai nominalnya.

Sampai pertengahan bulan AGustus 1945, uang invasi Jepang mencapai nilai 2,4 miliar Gulden di Pulau Jawa, 1,4 miliar Gulden di Sumatra, serta dalam nilai yang lebih kecil di Kalimantan dan Sulawesi.

Jepang juga mencuri sejumlah uang dari De Javasche Bank di Surabaya dan beberapa tempat lainnya. Pengaturan pangan dan tenaga kerja paksa serta gangguan transportasi dan kekacauan berdampak pada timbulnya kelaparan di tahun 1944 hingga 1945. 

Kedatangan Belanda Pasca-Kemerdekaan Indonesia

Setelah Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Undang-Undang Dasar 1945 disusun pada 18 Agustus 1945. Dalam penjelasan UUD 1945 Bab VIII Pasal 23 Hal Keuangan, Indonesia menyatakan cita-cita membentuk bank sentral dengan nama Bank Indonesia untuk memperkuat kesatuan wilayah dan ekonomi-moneter.

Namun, kedatangan Belanda kembali ke Indonesia mempersulit keadaan. Wilayah Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda (Nederlandsch-Indische Civiele Administratie/NICA).

Prof. Dr. Bustari Muktar menjelaskan dalam bukunya, NICA membuka akses kantor-kantor pusat Bank Jepang di Jakarta dan menugaskan De Javasche Bank menjadi bank sirkulasi dengan mengambil alih peran Nanpo Kaihatsu Ginko. Pembukaan cabang De Javasche Bank berlanjut di seluruh wilayah Indonesia.

Menurut publikasi Kementerian Keuangan, pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah Republik Indonesia pada 2 Oktober 1945 yang menetapkan bahwa uang NICA tidak berlaku di wilayah Republik Indonesia.

Kemudian Maklumat Presiden Republik Indonesia pada 3 Oktober 1945 menentukan jenis-jenis uang yang sementara masih berlaku sebagai alat pembayaran yang sah. Saat itu, Indonesia memiliki empat mata uang yang sah.

Penerbitan Oeang Repoeblik Indonesia

Sementara itu, wilayah kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia membentuk Jajasan Poesat Bank Indonesia yang kemudian melebur dalam Bank Negara Indonesia (BNI) sebagai bank sirkulasi berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2/1946.

Pengakuan negara lain terhadap BNI melalui proses yang sulit akibat pertempuran pasca kemerdekaan. Pada Oktober 1946, pemerintah berhasil menerbitkan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) sebagai uang pertama Republik Indonesia.

Merangkum buku Bank Indonesia dalam Perjalanan Pembangunan Ekonomi Indonesia, ORI mulai berlaku pada 30 Oktober 1946. Tindakan pertama yang dilakukan pemerintah Indonesia sebelum mengedarkan ORI adalah menarik uang invasi Jepang dan uang NICA dari peredaran.

Kedua uang tersebut tidak boleh digunakan dan dilarang membawa ke daerah lain. Nilai ORI dalam Undang-Undang tanggal 25 Oktober 1946 ditetapkan 10 rupiah ORI = 5 gram emas murni. Kurs ORI terhadap uang invasi Jepang sebesar 1:50 untuk pulau Jawa dan Madura dan 1:100 untuk daerah lainnya.

Nasionalisasi De Javasche Bank

Pada Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia sebagai bagian dari Republik Indonesia Serikat. Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949 memutuskan De Javasche Bank sebagai bank sirkulasi untuk Republik Indonesia Serikat dan BNI sebagai bank pembangunan.

Kemudian pada tanggal 17 Agustus 1950, pemerintah RIS dibubarkan dan Indonesia kembali berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kemudian De Javasche Bank dinasionalisasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1951 tentang Nasionalisasi De Javasche Bank N.V.

Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 1 Juli 1953 menerbitkan Undang-Undang No.11 Tahun 1953 tentang Pokok Bank Indonesia, yang menggantikan De Javasche Bank Wet pada tahun 1922.

Sejak tanggal 1 Juli 1953, Bank Indonesia secara resmi berdiri sebagai Bank Sentral Republik Indonesia.​  Tugas dan fungsi Bank Indonesia diatur dalam Undang‑Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia 

Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini perlu ditopang dengan tiga pilar utama, yaitu kebijakan moneter dengan prinsip kehati-hatian, sistem pembayaran yang cepat dan tepat, serta sistem perbankan yang dan keuangan yang sehat.

Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia mempunyai tugas:

  • Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter.
  • Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran.
  • Mengatur dan mengawasi bank.

Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk:

  • Menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan laju inflasi yang ditetapkan.
  • Melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara-cara antara lain.
  • Operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing.
  • Penetapan tingkat diskonto.
  • Penetapan cadangan wajib minimum.

Demikian pembahasan tentang sejarah Bank Indonesia dimulai dari kedatangan armada Portugis hingga pendirian De Javasche Bank yang mengalami nasionalisasi.