DPR dan KPK: Perjanjian Ekstradisi RI–Singapura Permudah Cari Buronan
Pemerintah Indonesia dan Singapura menandatangani perjanjian ekstradisi. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai, kerja sama ini akan mempermudah berburu buronan, termasuk koruptor.
Ekstradisi adalah penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana oleh suatu negara kepada negara yang meminta. Orang yang diserahkan itu melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi negara yang meminta penyerahan.
Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengatakan, pelaku kejahatan dari Singapura bisa saja bersembunyi di Indonesia. Dengan adanya perjanjian itu, tersangka dapat diburu dengan mudah oleh pemerintah maupun aparat penegak hukum negeri jiran.
Arsul mencontohkan, dulu, banyak konglomerat menyalahgunakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan memarkir aset di Singapura.
"Jadi, tidak harus dipandang seolah-olah yang butuh perjanjian ekstradisi itu hanya pemerintah Indonesia," ujar Arsul kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Selasa (25/1).
Ia mengatakan, pemerintah sebenarnya sepakat soal perjanjian sejak 1998. Namun, Singapura melakukan finalisasi perjanjian dengan menggantungkan perjanjian lain.
Perjanjian yang dimaksud yakni terbukanya wilayah Indonesia untuk latihan Angkatan Udara. DPR keberatan atas permintaan pemerintah Singapura ini.
Menurutnya, permintaan itu harus dilakukan terpisah. Apalagi jika isu kesepakatannya jauh dari perjanjian awal, seperti soal pertahanan dan hukum.
"DPR ingin (perjanjian) ekstradisi ya ekstradisi saja. Manfaatnya bukan hanya untuk Indonesia," ujar Arsul.
Sedangkan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyatakan, perjanjian tersebut akan menjadi akselerasi progresif dalam upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air. Sebab, seluruh instrumen yang dimiliki kedua negara akan mendukung penuh terhadap upaya ekstradisi dalam kerangka penegakan hukum.
“Itu termasuk dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi," kata Ghufron.
Perjanjian itu tidak hanya mempermudah penangkapan dan pemulangan tersangka korupsi yang melarikan diri atau berdomisili di negara lain, tetapi juga berimbas positif terhadap upaya optimalisasi asset recovery alias pemulihan aset.
Sebab, aset koruptor tidak hanya berada di dalam negeri, tetapi juga tersebar di berbagai negara. “Dengan optimalisasi perampasan aset itu, maka memberikan sumbangsih terhadap penerimaan negara bukan pajak (PNBP)," ujar dia.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong menggelar pertemuan bilateral di The Sanchaya Resort Bintan, Bintan, Kepulauan Riau pada Selasa (25/01).
Keduanya menyaksikan penandatanganan sejumlah perjanjian, salah satunya soal ekstradisi buronan. Ini ditandatangani oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly serta Menteri Hukum Singapura K Shanmugam.
"Untuk perjanjian ekstradisi dalam perjanjian yang baru ini, masa retroaktif diperpanjang dari semula 15 tahun menjadi 18 tahun," kata Jokowi dalam keterangan pers melalui video, Selasa (25/1).
Perjanjian tersebut sesuai dengan Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Hal itu memungkinkan dilakukannya ekstradisi terhadap pelaku 31 jenis tindak pidana dan pelaku kejahatan lainnya, yang telah diatur dalam sistem hukum kedua negara.
Perjanjian tersebut juga menyepakati pemberlakukan masa retroaktif hingga 18 tahun terhadap tindak kejahatan yang berlangsung sebelum berlakunya perjanjian ekstradisi Indonesia dan Singapura.
Perjanjian itu juga memiliki fitur khusus yang secara efektif akan mengantisipasi celah hukum dan muslihat pelaku kejahatan. Salah satunya, perubahan status kewarganegaraan untuk menghindari penegakan hukum.
Dalam perjanjian ekstradisi itu, status warga negara pelaku kejahatan yang berubah tidak dapat mengecualikan pelaksanaan ekstradisi. Ini karena berdasarkan status kewarganegaraan pelaku ketika tindak kejahatan terjadi.
Dengan demikian, pemberlakukan perjanjian ekstradisi buronan akan menciptakan efek gentar (deterrence) bagi pelaku tindak kriminal di Indonesia dan Singapura.
Bagi Indonesia, pemberlakuan perjanjian ekstradisi diyakini dapat menjangkau pelaku kejahatan di masa lalu. Selain itu, memfasilitasi implementasi Keputusan Presiden Indonesia Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI.