Pemerintah membuat ketentuan pencairan Jaminan Hari Tua atau JHT hanya pada saat usia pensiun 56 tahun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia. Aturan ini berlaku tiga bulan sejak tanggal diundangkan, yaitu 2 Mei 2022.
Polemik dari aturan tersebut turut memicu spekulasi mengenai kondisi keuangan dan kinerja BPJS Ketenagakerjaan. Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) menuding BPJS Ketenagakerjaan sedang mengalami keterbatasan dana. Presiden Aspek Indonesia Mirah Sumirat menduga BPJS Ketenagakerjaan tidak profesional dalam mengelola dana nasabahnya.
"Ada kemungkinan BPJS Ketenagakerjaan tidak memiliki dana yang cukup dari pengembangan dana peserta. Sehingga berpotensi gagal bayar terhadap hak-hak pekerja yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan," kata Mirah dalam keterangannya, Sabtu (12/2).
Terkait pengelolaan investasi, Kejaksaan sejak tahun lalu menyidik dugaan korupsi pada BPJS Ketenagakerjaan. Kejaksaan menyebut kasus dugaan korupsi ini ditengarai mirip perkara yang membelit PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
Pada awal 2021, Kejagung memprediksi kerugian BPJS Ketenagakerjaan mencapai Rp 22 triliun dalam tiga tahun terakhir. Namun, hingga kini belum ada penetapan tersangka. Beredar kabar kejaksaan akan menghentikan penyidikan dengan bersiap mengeluarkan SP3 atau Surat Perintah Penghentian Penyidikan.
Direktur Penyidikan pada Jampidsus Supardi mengatakan hingga saat ini belum menghentikan penyidikan. Namun untuk sementara waktu, kejaksaan menyimpulkan kerugian negara yang ditimbulkan tergolong unrealized loss atau dugaan kerugian negara yang belum terealisasi.
"Belum dihentikan. Sementara kerugian unrealised," ujar Supardi kepada Katadata pada Senin (14/2).
Kejaksaan telah menggeledah kantor BPJS Ketenagakerjaan. Selain itu, sejumlah pejabat dan karyawan BPJS Ketenagakerjaan telah diperiksa. Di antaranya Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto, Direktur Pengembangan Investasi BPJS Ketenagakerjaan dan Kepala Urusan Pasar Saham pada BPJS Ketenagakerjaan tahun 2016.
Selain itu beberapa pejabat dari perusahaan manajer investasi diperiksa sebagai saksi. Mereka di antaranya Presiden Direktur PT FWD Asset Management, Direktur Bahana TCW Investment Management, Direktur COO PT Ashmore Asset Management Indonesia Tbk, Direktur PT Danareksa Investment Management dan Kepala Urusan Pasar Saham pada BPJS Ketenagakerjaan tahun 2016.
Proses penyidikan ini berbasis audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). BPK menemukan beberapa masalah terkait pengelolaan investasi pada BPJS TK pada Juni 2021 lalu.
BPJS TK disebut kehilangan kesempatan untuk memperoleh secara optimal hasil pengembangan dana lantaran terdapat masalah dalam investasi terutama pada reksadana dan saham. Masalah tersebut adalah tidak jelasnya keputusan cut loss atau take profit, menanggung risiko tinggi apabila reksadana yang dimiliki 100% mengalami penurunan atau kerugian tanpa sharing risiko.
BPK lantas memberi rekomendasi agar Direktur Utama BPJS TK secara jelas dan tegas membuat mekanisme cut loss sebagai pedoman pengambilan keputusan.
Take profit atau cut loss saham yang tidak ditransaksikan tersebut diantaranya adalah saham SIMP (Salim Ivomas Pratama), KRAS (Krakatau Steel), GIAA (Garuda Indonesia), AALI (Astra Agro Lestari), LSIP (London Sumatera Indonesia), dan ITMG (Indo Tambangraya Megah).
Demi mengantisipasi adanya ketidakstabilan pasar BPJS juga disarankan untuk melakukan rekomposisi kepemilikan reksadana. Hal ini mempertimbangkan risiko dan hasil investasi yang lebih optimal.
BPJS TK juga diminta agar menyusun dan menerapkan langkah-langkah pemulihan unrealized loss secara rinci. Pemulihan tersebut diharapkan tidak hanya bergantung pada faktor yang tidak dapat dikendailkan seperti IHSG, memulihkan likuiditas dan solvabilitas Program JHT minimal pada angka 100%.