Menteri Yasonna Sebut Aksi Tolak Pengesahan KUHP Tak Berguna

Muhammad Zaenuddin|Katadata
Aliansi Reformasi KUHP kembali melakukan aksi simbolik penolakan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di depan Gedung DPR, Jakarta, Selasa (6/12).
Penulis: Andi M. Arief
6/12/2022, 20.06 WIB

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly menyatakan kegiatan demonstran yang ingin menginap di depan Gedung DPR tidak ada gunannya. Menurut Yasonna, para massa aksi bisa melakukan protes dengan mengajukan judicial review melalui Mahkamah Konstitusi. 

"Judicial review itu mekanisme konstitusional. Saya mengajak teman-teman belajar melakukan hal-hal secara konstitusional, secara hukum dalam pendekatannya," kata Yasonna di Istana Merdeka, Selasa (6/12).

Menurut Yasonna Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang baru disahkan sudah disusun dengan baik. Pembuatan UU KUHP yang baru telah melibatkan berbagai pihak dan dibahas secara berjenjang.

Setelah melalui pembahasan yang alot, hari ini sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya mengesahkan draft Rancangan KUHP menjadi Undang-undang. Pengesahan disetujui oleh seluruh fraksi di DPR dengan dua partai mengajukan catatan yaitu Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera. 

Yasonna menyampaikan penyusunan draft RKUHP telah dilakukan pemerintah dengan melibatkan beberapa pihak di masyarakat, seperti pakar, dewan pers, dan lembaga sosial masyarakat. Namun Yasonna mengakui tidak semua pihak menyetujui UU KUHP yang telah disetujui hari ini.

"Nggak mungkin kita semua bisa setuju 100%, belum ada UU yang seperti itu. Kalau pada akhirnya ada teman-teman yang merasa tidak pas dan bahkan menyatakan bertentangan dengan konstitusi, silahkan saja judicial review," ujar Yasonna.

Menkumham mengatakan upaya pembaruan UU KUHP telah dimulai sejak 1963. Artinya, setiap presiden pernah mencoba membawa upaya pembaruan UU KUHP ke Sidang Rakyat, namun gagal mencapai kata setuju.

Yasonna berpendapat pembaruan UU KUHP menjadi penting, lantaran hukum yang sama sudah tidak dipakai oleh pembuatnya, yakni Belanda. Selain itu, Yasonna berpendapat UU KUHP yang saat ini berlaku telah mengikuti perkembangan zaman.

Adapun, UU KUHP yang disahkan hari ini akan masuk masa sosialisasi selama 3 tahun atau hingga akhir 2025. Setelah itu, UU KUHP akan diimplementasikan secara penuh.

Sebelumnya sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP menggelar aksi penolakan pengesahan RUU KUHP di depan gedung DPR. Aksi sudah dimulai sejak Senin (5/12) dengan kegiatan tabur bunga. Pada hari ini aksi berlanjut dengan menggelar orasi dan berkemah depan DPR. Namun, rencana massa aksi untuk berkemah di DPR ini tidak jadi dilaksanakan karena dibubarkan oleh kepolisian. 

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito Madrim mengatakan masih terdapat sejumlah pasal yang bermasalah dan berpotensi mengekang kebebasan pers. Menurut Sasmito terdapat 17 pasal yang harus dihapus dari KUHP karena berpotensi kriminalisasi terhadap jurnalis.  

“Sejauh ini pemerintah dan DPR tidak pernah memberikan ruang partisipatif kepada komunitas publik termasuk pers yang bermakna untuk mendiskusikan pasal-pasal yang bermasalah,” ujar Sasmito kepada katadata.co.id.

Sebelumnya, Anggota Dewan Pers, Dr Ninik Rahayu mengatakan pengesahan RKUHP oleh DPR, merupakan ancaman bagi kemerdekaan pers. Menurut dia pengaturan pidana Pers dalam RKUHP, mencederai regulasi yang sudah diatur dalam UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. 

Reporter: Andi M. Arief