Tren pola narasi di media sosial terkait Pemilu 2024 dinilai menunjukkan peta yang mirip dengan Pemilu 2019. Hal ini diungkapkan Yayasan Tifa, berdasarkan pantauan Drone Emprit dalam tiga bulan terakhir.
Drone Emprit merupakan sebuah sistem untuk memantau dan menganalisa percakapan di media sosial, terutama Twitter dan Facebook.
Direktur Eksekutif Yayasan Tifa, Shita Laksmi, khawatir jika Pemilu 2024 akan kembali diisi dengan berbagai praktik buruk politik yang menciptakan polarisasi di masyarakat.
Terutama dengan meningkatnya pengaruh informasi melalui media sosial, yang di dalamnya juga terdapat berita bohong, disinformasi, atau misinformasi. Selain itu, didukung juga dengan adanya pelemahan terhadap ruang publik dan kebebasan bersuara, serta semakin terbukanya celah praktik oligarki.
Untuk itu, ia berharap masyarakat dapat bersama-sama meminimalisir polarisasi, dengan cara merawat keberagaman. "Kedewasaan demokrasi bisa kita raih dengan merawat keberagaman di tengah-tengah masyarakat. Bahkan memandang keragaman sebagai aset perubahan," ungkap Shita melalui siaran pers Ulang Tahun ke-22 Yayasan Tifa, yang diterima redaksi Katadata.co.id Sabtu (17/12).
Menurutnya, Pemilu perlu dipandang sebagai suatu momen berdemokrasi yang adil dan setara, juga menyenangkan. Perbedaan pandangan maupun pilihan pemimpin patut dilandasi oleh rasa saling percaya, toleransi, dan menghargai.
"Tifa melihat pentingnya merawat keberagaman dalam Pemilu 2024 karena keberagaman adalah esensi Indonesia yang sudah mulai sulit
dipertahankan,” tambahnya.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan polarisasi adalah politik identitas. Hal ini karena banyak elite politik yang menggunakannya sebagai cara untuk meraih dukungan politik.
Menurut survei Litbang Kompas tentang situasi politik nasional, mayoritas responden menilai buzzer/influencer yang provokatif bisa menciptakan polarisasi politik di masyarakat memanas.
Sebanyak 21,6% responden lain menilai polarisasi politik bisa meruncing, karena penyebaran informasi yang tidak lengkap atau hoaks, 13,4% karena kurangnya peran tokoh bangsa dalam meredakan perselisihan, dan 5,8% karena media sosial.
Hal senada juga diungkapkan Dewan Pengurus Yayasan Tifa, Endy Bayuni. Ia menilai demokrasi di Indonesia selalu menjadi sebuah pekerjaan yang terus berproses.
"Proses reformasi yang kita jalankan menunjukkan bahwa semakin demokratis sebuah bangsa, semakin besar tantangan yang dihadapi, bukannya mengecil," ungkapnya pada kesempatan yang sama.
Ia juga menungkapkan bagaimana perkembangan politik dan sosial Indonesia saat ini membuat publik mudah merasakan frustrasi atau kesal, apalagi di tengah maraknya komentar mengenai stagnasi demokrasi dan kemunduran. "Namun sentimen ini janganlah menjadikan kita mundur atau menyerah."
Endy berharap kondisi ini menjadi cambukan semangat bagi masyarakat, terutama yang bergerak di dunia Civil Society, untuk semakin memperkuat usaha dan perjuangan membangun masyarakat yang terbuka dan demokratis, dengan berkhidmat kepada pluralisme, kesetaraan, dan keadilan.
Lima Isu Krusial dalam Indeks Kerawanan Pemilu 2024
Terkait dengan pelaksanaan Pemilu 2024, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebelumnya meluncurkan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2024. Laporan ini memetakan potensi kerawanan pemilu di seluruh wilayah Indonesia.
IKP menjadi landasan untuk membuat program pencegahan dan pengawasan tahapan Pemilu 2024. Selain itu, IKP juga menjadi upaya Bawaslu dalam memproyeksi dan deteksi dini terhadap potensi pelanggaran.
“Kami harap semua daerah tetap kondusif. Tidak terjadi hal-hal yang berpotensi mengganggu atau menghambat proses pemilu yang demokratis,” ucap Anggota Bawaslu Lolly Suhenty dalam peluncurkan IKP Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024, di Jakarta, Jumat, (16/12).
Menurutnya, terdapat lima isu strategis yang terungkap dalam IKP 2024. Polarisasi masyarakat terkait dukungan politik, menjadi salah satu perhatian untuk menjaga suasana dan proses Pemilu 2024 berjalan kondusif.
Selain itu, terkait netralitas penyelenggara pemilu. Kemudian, pelaksanaan tahapan pemilu di Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua Tengah, Papua Selatan, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya.
Selanjutnya, persoalan mitigasi dampak penggunaan media sosial karena intensitas penggunaannya yang terus meningkat, sehingga membutuhkan langkah mitigasi khusus dari penyelenggara pemilu untuk mengantisipasinya dalam dinamika politik ke depan.
Terakhir, persoalan pemenuhan hak memilih dan dipilih, terutama hak politik dan pelayanan penuh terhadap perempuan dan kelompok rentan.