Perusahaan teknologi finansial pembiayaan (fintech lending) mengandalkan pusat data yang disebut pusdafil untuk memitigasi risiko kredit macet. Sejauh ini, ‘alat’ yang juga dikenal dengan Fintech Data Center (FDC) itu telah menjaring 26 juta data peminjam.
Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Tumbur Pardede mengatakan, pusdafil bisa memberikan gambaran terkait calon peminjam. Hingga saat ini, 161 startup fintech lending sudah menggunakan platform anti-peminjam nakal itu.
Data yang dibagikan oleh fintech lending melalui pusdafil bukan berupa nama pengguna, melainkan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Calon peminjam dengan NIK sekian misalnya, mengajukan pembiayaan di platform A.
Perusahaan penyedia platform A dapat mengetahui calon peminjam tersebut sudah meminjam di mana saja, dan bagaimana pembayarannya. "Akan terlihat, apakah masih mempunyai pinjaman atau tidak. Statusnya (pembayaran)," ujar Tumbur kepada Katadata.co.id, Senin (7/9).
Sebelum ada pusdafil atau periode 2017-2019, banyak peminjam nakal yang memanfaatkan fintech lending untuk meminjam. Bahkan, ada satu debitur yang meminjam di 10 platform. “Mereka gali lubang tutup lubang," kata Tumbur.
Data para peminjam nakal tersebut kini terekam di pusdafil. Selain itu, pusdafil dapat memberikan gambaran terkait penilaian pinjaman (credit scorring) yang diklaim lebih akurat.
Dengan skema itu, ia optimistis rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) di industri fintech lending dapat terjaga. Namun, masih ada satu juta data peminjam yang belum terintegrasi. Ini karena ada fintech lending yang baru terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Tingkat wanprestasi pengembalian pinjaman (TWP) di atas 90 hari fintech lending tercatat mencapai 6,1% per Juni. Rasio ini melonjak dibandingkan April 4,93% dan Mei 5,1%.
Namun, Tumbur menilai angka itu masih wajar. “Ini karena kondisi aktual di masyarakat,” kata dia kepada Katadata.co.id, beberapa waktu lalu (19/8).
Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi mengatakan, keberadaan FDC semakin penting di masa pandemi Covid-19. “Ini untuk menurunkan risiko pinjaman bermasalah,” kata dia dikutip dari siaran pers, awal Agustus lalu (4/8).
Apalagi, fintech semakin selektif dalam memberikan pinjaman di tengah pandemi corona. Modalku misalnya, mengindentifikasi industri mana saja yang performanya baik dan masih bisa berkembang seperti sektor kesehatan dan penjual online.
Hal itu seiring dengan TWP di platform Modalku yang meningkat menjadi 1%. Meski masih kecil, namun rasio kredit macet itu melonjak jika dibandingkan akhir 2019 yang hanya 0,5%.
"Pergerakan tingkat kredit macet tentunya dipengaruhi oleh cepatnya perputaran kredit. Selain itu, setiap sektor industri memiliki siklus usaha yang berbeda," kata Co-Founder sekaligus CEO Modalku Reynold Wijaya kepada Katadata.co.id.
KoinWorks juga berupaya menjaga rasio kredit bermasalah di kisaran 1%. "Kami mengeck secara berkala guna memastikan bisnis yang akan didanai layak untuk mendapatkan pinjaman. Maka, kemungkinan gagal bayar dari peminjam dapat dihindari," ujar Co-founder sekaligus CEO KoinWorks Benedicto Haryono kepada Katadata.co.id.
Hal serupa juga dilakukan oleh Akseleran. "Kami melakukan shifting portofolio ke pinjaman yang lebih kecil risikonya yaitu invoice financing," kata Co-Founder sekaligus CEO Akseleran Ivan Tambunan kepada Katadata.co.id.
Perusahaan juga memperketat asesmen pinjaman usaha kepada peminjam termasuk rasio keuangan. Kemudian, perusahaan mengawasi dan mendorong efisiensi penagihan.
Pemanfaatan Pusdafil untuk Mendukung UMKM
Selain memitigasi risiko kredit macet, pusdafil dinilai dapat membantu pemerintah mendorong bisnis Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Menteri Keuangan periode 2013-2014, Chatib Basri menilai, karena keunggulan data tersebut, fintech lending bisa terlibat dalam program pemulihan ekonomi.
Fintech lending bisa berkolaborasi dengan pemerintah atau perbankan dengan cara memanfaatkan data di Pusdafil. Apalagi, ketidakcocokan data menjadi permasalahan pemerintah dalam menyalurkan bantuan selama ini.
"Keuntungan fintech lending ini data, maka perlu kolaborasi dengan pemerintah. Bantuan ini kan butuh data," ujar Pria yang juga menjabat sebagai Dewan Penasihat AFPI, saat mengikuti seminar bertajuk ‘Peran Fintech Lending dalam Akselerasi Penyaluran Stimulus Program Pemulihan Nasional’, Kamis lalu (3/9).
Saat itu, Adrian Gunadi juga menambahkan bahwa fintech lending dapat menggunakan Pusdafil untuk menilai UMKM mana yang paling membutuhkan bantuan. Platform ini memiliki informasi terkait perkembangan bisnis hingga NIK.
Berdasarkan data OJK, ada 161 penyelenggara fintech lending yang terdaftar. Sebanyak 33 di antaranya sudah memiliki izin. Mereka telah menyalurkan pinjaman total Rp 116,7 triliun. Pinjaman yang masih berjalan atau outstanding mencapai Rp 11,94 triliun per Juli.
AFPI memproyeksikan, penyaluran pembiayaan melalui fintech lending mencapai Rp 61 triliun selama tahun ini saja. Angka itu turun dibandingkan perkiraan awal, karena adanya pandemi virus corona. Meski begitu, target ini lebih tinggi dibandingkan realisasi tahun lalu yang hanya Rp 58 triliun.