Kemendag dan OVO Ungkap Dua Kendala Digitalisasi Pasar Tradisional

ANTARA FOTO/Ampelsa/hp.
Ilustrasi, pedagang menunggu pembeli di Pasar Tradisional Peunayung, Banda Aceh, Aceh, Kamis (26/3/2020).
2/10/2020, 13.22 WIB

Per Agustus lalu, QRIS telah digunakan oleh 4,5 juta penjual di Indonesia.

Sedangkan OVO sudah menggaet 650 ribu mitra penjual (merchant) di 373 kota. Namun baru 10% yang berdomisili di timur Indonesia.

Perusahaan ingin menggaet lebih banyak mitra di Papua dan sekitarnya. "Kami meningkatkan terus jumlah mitranya," kata Karaniya.

Salah satu caranya dengan menggaet Pemerintah Kota (Pemkot) Manado untuk mendigitalisasikan Pasar Bersehati, pada hari ini.

Walikota Manado Vicky Lumentut mengatakan, pemerintah bekerja sama dengan perusahaan telekomunikasi untuk meningkatkan kapasitas infrastruktur digital. Namun, persoalan digitalisasi pasar lainnya yakni pemahaman masyarakat terkait teknologi.

Hal senada disampaikan oleh Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga. Ia mencatat, banyak pedagang dan pembeli di pasar tradisional yang belum mengetahui cara bertransaksi menggunakan platform digital, termasuk QRIS.

"Jangan sampai sistemnya sudah siap untuk digital, tetapi masyarakatnya tidak tahu cara menggunakannya," kata Jerry. Untuk itu, perlu ada pelatihan dan sosialisasi secara masif.

Di samping itu, Bank Indonesia (BI) sudah membebaskan biaya transaksi pembayaran nontunai menggunakan QRIS bagi pedagang. Sebelumnya, mereka harus membayar 0,75% per transaksi.

“Biaya transaksinya untuk sementara ini nol persen. Tidak ada entry barrier," kata Direktur di Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI Ronggo Gundala Yudha, Juni lalu (30/6).

Halaman:
Reporter: Fahmi Ahmad Burhan

Masyarakat dapat mencegah penyebaran virus corona dengan menerapkan 3M, yaitu: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak sekaligus menjauhi kerumunan. Klik di sini untuk info selengkapnya.
#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #cucitangan