Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengkaji penurunan bunga pinjaman online dari 0,8% menjadi 0,4% per hari. Ini setelah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta bunga fintech lebih terjangkau, agar masyarakat tidak tertipu pinjol ilegal.
Akan tetapi, AFPI menyampaikan bahwa salah satu dampak dari penurunan bunga pinjaman yakni fintech lending menjadi semakin selektif dalam memberikan pembiayaan. Perusahaan akan lebih memilih calon peminjam yang mempunyai kemampuan bayar.
Meski begitu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memperkirakan bahwa kondisi tersebut tak langsung membuat masyarakat ramai-ramai beralih ke bank digital. Ini karena aturan perbankan lebih ketat dibandingkan fintech.
“Jauh lebih ketat syarat (pengajuan pinjaman ke) perbankan karena regulasinya berbeda,” kata Bhima kepada Katadata.co.id, Senin (25/10). Ia justru melihat bahwa bank digital gencar bekerja sama dengan fintech lending, ketimbang langsung menyalurkan pinjaman.
Sejumlah bank digital memang tercatat masif berkolaborasi dengan fintech lending sejak tahun lalu. Akulaku misalnya, berkolaborasi dengan Bank Jago dengan skema channeling pada November 2020.
Akseleran bekerja sama dengan Bank Jago pada awal tahun ini. Kemudian Modal Rakyat yang menggaet dua bank digital yaitu Neo Commerce dan Bank Jago.
Bhima mengatakan, penyaluran pinjaman yang lebih selektif oleh fintech lending justru akan berdampak baik terhadap kualitas kredit atau tingkat keberhasilan bayar (TKB). Apalagi, tidak semua fintech lending menawarkan restrukturisasi pinjaman selama pandemi Covid-19.
Menurutnya, penyaluran pinjaman yang lebih selektif akan mendorong masyarakat untuk menggunakan layanan fintech resmi. "Ini karena bunganya jauh lebih murah," ujarnya.
Bunga fintech lending untuk pinjaman produktif saat ini 16% – 30% per tahun. Sedangkan bunga pinjaman konsumtif dibatasi 0,8% per hari dengan maksimal bunga dan biaya lainnya tidak lebih dari 100%. Ini artinya, bunga, denda, dan biaya lainnya tidak melebihi utang pokok
AFPI berencana memangkas bunga kredit harian fintech lending hingga 50%. "Ini supaya layanan fintech bisa lebih terjangkau, dengan skala ekonomis yang lebih murah," kata Ketua Umum AFPI Adrian Asharyanto saat konferensi pers virtual, pekan lalu (22/10).
Dengan bunga yang lebih rendah, AFPI berharap masyarakat bisa membedakan layanan pinjaman online yang resmi dengan pinjol ilegal.
Sekretaris Jenderal AFPI Sunu Widyatmoko menambahkan, bunga pinjaman akan turun 50% dari 0,8% menjadi 0,4% per hari. Ini dinilai akan berdampak langsung pada layanan yang diberikan dan konsumen.
Ia mengatakan, perusahaan fintech akan cenderung memilih peminjam yang kurang berisiko. Risiko yang dimaksud yakni kemampuan membayar pinjaman.
Hal itu juga berdampak pada tingkat pencairan dana dari perusahaan fintech. Ini Artinya, jumlah pinjaman yang diberikan bisa jadi tidak sebesar sebelumnya.
"Ini untuk menyeimbangkan risiko dan keuntungan yang ditanggung pemberi pinjaman," kata Sunu.
Di satu sisi, pemerintah akan memberlakukan moratorium atau penundaan penerbitan izin fintech lending. Ini bertujuan memberantas pinjol ilegal.
Peneliti Center of Innovation and Digital Economy Indef Nailul Huda mengatakan, kebijakan itu akan berdampak bagi industri dalam tiga hal yakni:
1. Fintech lending baru kesulitan beroperasi
"Padahal, banyak perusahaan fintech lending baru yang sebenarnya mampu menjadi legal, tapi memutuskan untuk ilegal karena moratorium ini," kata Nailul kepada Katadata.co.id, Selasa (19/10).
2. Nilai penyaluran pinjaman fintech lending melambat
Sebab, hanya sedikit saja pemain yang dapat menyalurkan kredit terutama kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). "Akan ada waktu yang lebih panjang agar bisa memenuhi permintaan pendanaan," kata dia.
3. Persaingan fintech lending akan mengerucut kepada segelintir pemain
"Ini bisa menimbulkan persaingan usaha tidak sehat," katanya. Fintech lending juga kemungkinan akan menjalankan aksi korporasi baik merger maupun akusisi.