Mengapa Fintech di Indonesia Gencar Investasi dan Akuisisi Bank?

Ajeng Dinar Ulfiana|KATADATA
(ki-ka) Sri Mulyani Menteri Keuangan Indonesia, Kepala Grup Inovasi Keuangan Digital Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Triyono Gani, Perry Warjiyo Gubernur Bank Indonesia dan moderator dalam acara Indonesia Fintech Summit & Expo 2019 di Jakarta Convention Center,  Jakarta (23/9/2019)
Penulis: Desy Setyowati
18/4/2022, 12.02 WIB

Setidaknya ada delapan startup teknologi finansial (fintech) yang berinvestasi, mengakuisisi, atau berencana mengambil alih bank. Hal ini terjadi di tengahnya maraknya pemain baru bank digital.

Yang terbaru, Xendit dikabarkan membidik mayoritas saham Bank Sahabat Sampoerna. Kabar ini pertama kali dilaporkan oleh DailySocial.

Aksi korporasi tersebut kabarnya akan dilakukan secara bertahap sampai akhirnya startup fintech itu menguasai 51%.

Katadata.co.id mengonfirmasi kabar tersebut kepada Xendit. Namun fintech ini belum mau berkomentar.

Selain Xendit, induk perusahaan fintech lending Modalku, Funding Societies dikabarkan terlibat dalam pembelian saham di Bank Index.

Bank Index beroperasi di kota-kota besar di Indonesia. Bank ini berfokus pada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Pemegang saham terbesar Bank Index adalah PT Khazanah Indexindo.

Sebelum kabar akuisisi Bank Index, DealStreetAsia melaporkan bahwa Co-Founder sekaligus CEO Funding Societies Kelvin Teo tertarik berinvestasi di bank lokal. Tujuannya, mengembangkan pasar neobank. VP Head of Marketing Communications Modalku Ariani Hadioetomo belum bisa berkomentar soal kabar akuisisi Bank Index.

Namun ia membenarkan bahwa perusahaan berencana merambah neobank. "Sejalan dengan pendanaan seri C+, Modalku akan memperluas bisnis menuju neobank untuk mendukung UMKM lebih maksimal," kata Ariani kepada Katadata.co.id, bulan lalu (1/3). 

Selain itu, Akulaku, GoPay, Kredivo, WeLab, Ajaib, dan Alami berinvestasi dan mengakuisisi saham bank. Mereka kemudian merambah bisnis bank digital.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Modal Ventura Untuk Startup Indonesia (Amvesindo) Eddi Danusaputro mengungkapkan sejumlah alasan fintech mengakuisisi bank. Pertama, untuk mendapatkan izin layanan yang tidak didapatkan sebelumnya.

"Dengan dia punya izin bank akan bantu bisnisnya," kata Eddi kepada Katadata.co.id, bulan lalu (2/3).

Selain itu, fintech mengakuisisi bank untuk mengurangi biaya penyaluran dana.

Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira juga mengatakan, tren fintech ke dapan memang lebih mengarah pada integrasi vertikal, yakni akuisisi atau merger dengan bank.

Fintech banyak melakukan aksi korporasi itu dengan alasan mengembangkan ekosistem keuangan secara lebih luas. Ini karena fintech punya keunggulan dari sisi penilaian kredit atau credit scoring, tetapi lemah dari sisi data calon debitur.

Sedangkan bank mempunyai akses terhadap data ini melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selain itu, pendapatan dari komisi atau fee based income yang diterima bank atas transaksi isi ulang (top up) cukup besar.

“Bayangkan, setiap isi GoPay dikenakan Rp 1.000. Kalikan saja dengan volume transaksi nasabah. Ini lebih baik fintech yang menguasai,” ujar dia kepada Katadata.co.id.

Sebelumnya, Kepala Departemen Riset Sektor Jasa Keuangan OJK Inka Yusgiantoro juga mengatakan, keuntungan perusahaan teknologi seperti fintech memiliki bisnis bank yaitu dapat meningkatkan skala bisnisnya, terutama sistem pembayaran.

Selain itu, “mungkin dalam rangka mewujudkan ekosistem digitalnya," kata Inka dalam sesi webinar, akhir tahun lalu (23/11/2021).

Dari sisi bank, masuknya raksasa teknologi, termasuk fintech, dapat mempercepat proses digitalisasi di internal bank. Selain itu, bank mendapatkan keuntungan karena modalnya diperkuat dengan investor baru.

Reporter: Desy Setyowati, Fahmi Ahmad Burhan