Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menilai, Undang-undang atau UU Penyiaran perlu direvisi. Namun DPR meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi (judicial review) yang diajukan oleh RCTI dan iNews terkait platform video seperti YouTube dan Netflix.
Kedua perusahaan itu meminta agar perusahaan penyedia layanan streaming film dan video on demand (VoD) tunduk pada UU Penyiaran. Keduanya khawatir ada konten pada layanan digital yang bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila.
Anggota Komisi I DPR dari fraksi Golkar Bobby Adhityo Rizaldi menilai, UU Penyiaran memang perlu mengatur penggunaan frekuensi untuk perusahaan digital seperti YouTube dan Netflix. Namun definisinya harus dibedakan dengan korporasi konvensional.
“Prinsipnya, apapun bentuk media atau platform-nya harus diawasi selama kontennya penyiaran,” kata Bobby kepada Katadata.co.id, Senin (14/9).
Oleh karena itu, lembaga mana yang mengawasi perlu diatur dalam UU Penyiaran. "Kelembagaan, aspek hukum komersial, dan wewenang kelembagaan yang berkaitan diatur di revisi itu," kata Bobby.
Sedangkan Anggota Komisi III dari fraksi Gerindra, Habiburokhman berharap MK menolak gugatan yang diajukan RCTI dan iNews. "Kami memohon agar yang mulia Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan menolak permohonan aquo keseluruhan dan menerima keterangan DPR keseluruhan," kata dia dalam sidang MK, kemarin.
DPR menilai bahwa pemohon, yakni RCTI dan iNews, berpandangan adanya perbedaan perlakuan antara lembaga penyiaran konvensional dengan perusahaan digital seperti YouTube dan Netflix. Hal ini lantas dianggap merugikan kedua perusahaan.
Selain itu, DPR menilai keduanya menganggap UU Penyiaran bersifat ambigu dan tidak memberikan kepastian hukum.
Habiburokhman mengatakan, pandangan itu merupakan asumsi pemohon. RCTI dan iNews juga tidak memerinci kerugian, sehingga tak dapat membuktikan pengaruh perusahaan digital terhadap kinerja perusahaan.
"Sudah dapat dipastikan tidak ada kerugian hak konstitusional," kata Habiburokhman.
Dalam permohonannya kepada MK, RCTI dan iNews meminta pasal aquo ditambahkan frasa ‘kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan internet untuk dapat diterima masyarakat sesuai perangkat penerima siaran’. Sedangkan DPR menilai, penambahan dapat mengubah sebagian besar isi UU Penyiaran.
Ia mengatakan, siaran merupakan sarana pemancaran dengan menggunakan spektrum radio yang ditetapkan oleh pemerintah. Oleh karena itu, layanan over the top (OTT) atau digital tidak termasuk yang diatur dalam UU Penyiaran.
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kementerian Kominfo Ahmad M Ramli sempat menyampaikan, perubahan definisi lembaga penyiaran akan berdampak kepada penggunaan media sosial. Sebab, Instagram, Facebook dan lainnya juga memiliki fitur siaran langsung (live streaming).
Itu artinya, mereka wajib mengajukan izin sebagai lembaga penyiaran. “Kami harus menutup (platform) mereka kalau tidak mengajukan izin," ujar Ramli saat mengikuti sidang lanjutan di Gedung MK, dikutip dari Antara, akhir bulan lalu (26/8).
Jika itu terjadi, Ramli khawatir akan menimbulkan permasalahan hukum. “Ini karena mayoritas penyedia layanan OTT berasal dari yurisdiksi di luar Indonesia," kata dia.
Ia menilai, parlemen perlu membuat peraturan baru ketimbang merevisi UU Penyiaran. Regulasi itu dapat mengatur secara spesifik mengenai layanan siaran melalui internet.
Di satu sisi, Kominfo memang mendorong adanya revisi UU Penyiaran untuk memberikan kekuatan yang lebih besar bagi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam mengawasi konten di platform digital. Namun hal ini masih dikaji kementerian.