Google Siapkan Rp 14,9 Triliun untuk Bayar Konten Berita

ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY
Ilustrasi, dua orang membuka laman Google dan aplikasi Facebook melalui gawainya di Jakarta, Jumat (12/4/2019).
2/10/2020, 19.18 WIB

Pada April lalu, Komisi Persaingan dan Konsumen Australia (ACCC) mulai mengkaji aturan yang memaksa raksasa teknologi seperti Google dan Facebook untuk membayar konten berita yang diambil. Sebelumnya, Prancis dan Spanyol gagal memaksa keduanya untuk memberikan uang kepada media.

Aturan itu disusun, karena Google menjaring 47% dari pengeluaran iklan secara online, tidak termasuk iklan baris di Australia. Sedangkan Facebook mengklaim 24%.

Saat itu, Google menilai aturan tersebut hanya membantu perusahaan media besar untuk menaikkan peringkat pencarian dan memikat lebih banyak pemirsa. Namun, tidak adil bagi pembuat konten (content creator) individu yang mencari pendapatan dari YouTube.

Alasannya, aturan tersebut mungkin mewajibkan pemberian data kepada perusahaan besar tentang sistem pemeringkatan di YouTube. “UU ini akan memengaruhi semua pengguna kami di Australia," ujar Direktur Pelaksana Google Australia Mel Silva dikutip dari Reuters, Agustus lalu (17/8).

Perusahaan juga pernah berseteru dengan sejumlah perusahaan kantor berita di Eropa. Ini terjadi karena perusahaan tidak mau mematuhi undang-undang baru Uni Eropa terkait hak cipta digital.

Otoritas di Prancis pun memerintahkan Google untuk bernegosiasi dengan kantor berita terkait konten berita. Namun, perusahaan tidak mematuhinya.

Kala itu, Google menilai tidak perlu membayar konten karena berperan meningkatkan kunjungan ke situs kantor berita.

Kini, perusahaan sepakat untuk membayar konten berita yang diambil, dengan syarat berkualitas.

Halaman:
Reporter: Fahmi Ahmad Burhan