Perusahaan asal Amerika Serikat (AS), Google menyiapkan US$ 1 miliar atau Rp 14,9 triliun untuk membayar konten berita berlisensi. Dana ini akan diberikan kepada ratusan media di sejumlah negara selama tiga tahun.
Vice President of Product Management for News Google Brad Bender menyadari bahwa pendapatan kantor berita dari iklan turun selama pandemi corona. Oleh karena itu, perusahaan sepakat untuk membayar konten yang ditampilkan.
Google sudah menandatangani kesepakatan lisensi dengan sekitar 200 media di sejumlah negara seperti Jerman, Brasil, Argentina, Kanada, Inggris, Australia, India, Belgia, dan Belanda.
Beberapa perusahaan yang diajak bekerja sama yakni Der Spiegel, Stern, Die Zeit, Folha de S.Paulo, Band, Infobae, El Litoral, GZH, WAZ, dan SooToday. Google pun berencana memperluas kerja sama dengan media di negara lain.
Namun, Google menginginkan konten yang berkualitas. “Saya pikir, beberapa dari kita di ekosistem ingin meningkatkan dan memungkinkan artikel berita yang lebih baik,” kata Brad dikutip dari CNN Internasional, kemarin (1/10).
Perusahaan hanya akan membayar konten dari kantor berita yang berlisensi. Artikel akan muncul di produk terbaru yakni Google News Showcase.
“Ini investasi yang sangat besar. Terbesar bagi kami saat ini. Akan tetapi ini benar-benar membangun upaya kami dengan industri selama 20 tahun,” kata Brad.
Pada tahap awal, Google News Showcase akan tersedia di Jerman dan Brasil. Secara bertahap akan hadir di negara lain.
Katadata.co.id pun meminta tanggapan Google terkait kemungkinan layanan itu hadir di Indonesia. Namun, perusahaan belum bisa memberikan komentar.
Produk baru itu akan tersedia di Google News dan Discover. Brad sempat mengatakan, perusahaan berencana menerapkan biaya atas konten yang tampil pada layanan anyar ini, atau disebut artikel paywalled.
Kebijakan itu ditempuh oleh Google, setelah beberapa negara meminta perusahaan untuk berbagi ‘kue’ dari iklan dengan media.
Pada April lalu, Komisi Persaingan dan Konsumen Australia (ACCC) mulai mengkaji aturan yang memaksa raksasa teknologi seperti Google dan Facebook untuk membayar konten berita yang diambil. Sebelumnya, Prancis dan Spanyol gagal memaksa keduanya untuk memberikan uang kepada media.
Aturan itu disusun, karena Google menjaring 47% dari pengeluaran iklan secara online, tidak termasuk iklan baris di Australia. Sedangkan Facebook mengklaim 24%.
Saat itu, Google menilai aturan tersebut hanya membantu perusahaan media besar untuk menaikkan peringkat pencarian dan memikat lebih banyak pemirsa. Namun, tidak adil bagi pembuat konten (content creator) individu yang mencari pendapatan dari YouTube.
Alasannya, aturan tersebut mungkin mewajibkan pemberian data kepada perusahaan besar tentang sistem pemeringkatan di YouTube. “UU ini akan memengaruhi semua pengguna kami di Australia," ujar Direktur Pelaksana Google Australia Mel Silva dikutip dari Reuters, Agustus lalu (17/8).
Perusahaan juga pernah berseteru dengan sejumlah perusahaan kantor berita di Eropa. Ini terjadi karena perusahaan tidak mau mematuhi undang-undang baru Uni Eropa terkait hak cipta digital.
Otoritas di Prancis pun memerintahkan Google untuk bernegosiasi dengan kantor berita terkait konten berita. Namun, perusahaan tidak mematuhinya.
Kala itu, Google menilai tidak perlu membayar konten karena berperan meningkatkan kunjungan ke situs kantor berita.
Kini, perusahaan sepakat untuk membayar konten berita yang diambil, dengan syarat berkualitas.