Bos Perusahaan Teknologi AS Ramai Dukung Biden Ketimbang Trump

ANTARA FOTO/REUTERS/Mike Segar/WSJ/dj
Presiden AS Donald Trump dan calon presiden partai Demokrat Joe Biden terpantul di kaca plexiglass yang melindungi operator kamera tv dari covid saat mengikuti debat kampanye presiden 2020 di Universitas Belmont di Nashville, Tennessee, Amerika Serikat, Kamis (22/10/2020).
4/11/2020, 09.45 WIB

Pemilihan presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS) telah berlangsung pada Selasa (3/11) pagi waktu setempat atau malam di Indonesia. Dalam rangka pemilu ini, petinggi perusahaan teknologi seperti pendiri Facebook, mantan CEO Google hingga CEO Netflix menyumbang dana untuk kemenangan penantang Donald Trump dari Partai Demokrat, Joe Biden.

Dikutip dari data Center for Responsive Politics, mayoritas sumbangan dari para petinggi raksasa teknologi ditujukan untuk kemenangan Biden. “Juga untuk merebut kendali senat oleh Partai Demokrat," demikian dikutip dari Business Insider, Selasa (3/11).

Petinggi yang menyumbang dana untuk Biden yakni pendiri Facebook Dustin Moskovitz, mantan CEO Google Eric Schmidt, CEO perusahaan komputasi awan (cloud) Twilio Jeff Lawson hingga CEO Netflix Reed Hastings.

Moskovitz, Schmidt, dan Lawsons bahkan bergabung dalam barisan kelompok pro-Biden yakni super PAC Future Forward USA. Moskovitz menyumbang US$ 24 juta, Schmidt US$ 6 juta, dan Lawsons US$ 7 juta.

PAC Future Forward menggalang dana US$ 66 juta selama 45 hari. Sebagian besar uang itu telah dibelanjakan untuk serangkaian iklan televisi anti-Trump yang tayang sejak 29 September hingga hari pemilu.

Sumbangan lain datang dari Reed Hastings yakni lebih dari US$ 5 juta. Sedangkan pendiri LinkedIn Reid Hoffman menyumbang sekitar US$ 14 juta, termasuk US$ 2 juta untuk PAC dan masing-masing US$ 1 juta untuk pendukung Biden Unite the Country dan American Bridge 21st Century.

"Trump dan pemerintahannya benar-benar ‘membunuh’ orang Amerika," kata Hoffman dalam akun Twitter pribadinya @reidhoffman, Senin (2/11).

CEO perusahaan perangkat lunak (software) Expensify David Barret bahkan mengirim email kepada 10 juta pelanggannya dan mempromosikan Joe Biden. Ia beralasan bahwa tindakan ini untuk kepentingan bisnisnya juga. "Kepemimpinan Trump akan merusak demokrasi sedemikian rupa," kata Barret dikutip dari Bloomberg (3/11).

Dukungan pada Biden juga datang dari para petinggi di perusahaan investasi. Michael Moritz dari Sequoia Capital menyumbang lebih dari US$ 3 juta. Kemudian, salah satu pendiri Y Combinator Jessica Livingston mendonasikan US$ 5 juta.

Center for Responsive Politics melaporkan, karyawan Apple, Amazon, Facebook, Google, Microsoft, dan Oracle menggelontorkan dana US$ 4,8 juta untuk mendukung Biden atau 98% dari total pekerja di industri ini. Nilainya hampir 20 kali lipat lebih banyak dibandingkan pegawai teknologi yang mendukung Trump.

Selama ini, para petinggi hingga pekerja di perusahaan teknologi banyak mengkritik kebijakan Trump dalam mengatasi persoalan seperti imigrasi, perdagangan, perubahan iklim hingga penanganan pandemi Covid-19.

"Sekarang, banyak kaum konservatif percaya bahwa perusahaan teknologi bertaruh besar pada Biden," kata Co-Founder organisasi nirlaba Lincoln Network Garrett Johnson dikutip dari Fast Company, Selasa (3/11).

Selama tahun ini, kebijakan Trump pun banyak ditentang perusahaan teknologi. Pada Juni lalu, Trump menandatangani perintah eksekutif (executive order) terkait peluasan aturan pembatasan visa hingga akhir tahun.

Perintah eksekutif itu berlaku untuk pekerja bidang khusus yang disebut visa H-1B. Juga untuk visa L-1 bagi para manajer perusahaan multinasional. Padahal, kedua visa ini populer di kalangan raksasa teknologi AS.

Lembaga Kebijakan Migrasi pun memperkirakan, 219 ribu pekerja sementara akan diblokir. Oleh karena itu, perusahaan seperti Google, Facebook hingga Amazon menentang perintah eksekutif tersebut.

Pertengahan tahun ini, Trump juga menandatangani perintah eksekutif yang dapat mengurangi perlindungan terhadap perusahaan internet atau media sosial. Hal ini memicu perlawanan dari Twitter dan Facebook.

Trump menandatangani executive order tersebut setelah Twitter melakukan cek fakta atas cuitannya. Dalam perintah eksekutif ini, ia ingin mengubah pasal atau section 230 pada Undang-undang Keterbukaan Komunikasi.

Section 230 mengatur tentang perlindungan kepada perusahaan media sosial dari tanggung jawab atas konten yang diunggah oleh penggunanya. Mereka memiliki perisai. "Mereka dapat melakukan apa yang mereka inginkan," kata Trump kepada Los Angeles Times, dikutip dari The Verge, Mei (29/5) lalu. "Mereka tidak akan memiliki perisai itu."

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan