Pemerintah terus membenahi tata ekonomi digital yang sedang berkembang pesat. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyatakan langkah ini harus ditempuh untuk menyongsong bangkitnya perekonomian dunia. Jika tidak, Indonesia bakal tertinggal dari negara lain yang lebih cepat beradaptasi. Akibatnya, keadaan ini bisa membuat Indonesia terjebak pada pertumbuhan ekonomi yang stagnan pada level 5 persen.
Menurut Darmin, kemajuan teknologi digital merupakan satu di antara tiga kata kunci saat ini yang sering disampaikan Presiden Joko Widodo untuk menggerakkan ekonomi. Dua lainnya yaitu investasi dan ekspor, upaya untuk keluar dari ketergantungan terhadap pertumbuhan konsumsi dalam negeri. “Kalau kami hanya mengandalkan demand dalam negeri saja, akan di-punish dengan pertumbuhan ekonomi 5 – 5,5 persen,” kata Darmin dalam seminar 'Mendorong Terciptanya Inklusi Keuangan melalui Pemanfaatan Sistem Digital' di Jakarta, Rabu (13/02).
Negara lain, dia melanjutkan, sudah lebih dulu memaksimalkan sumber pertumbuhan ekonomi dari ekspor dan investasi. Sedangkan Indonesia, komposisi terbesar perekonomiannya hanya konsumsi rumah tangga. “Negara yang lebih mendorong market dan ekspor pasti akan melewati pertumbuhan ekonomi Indonesia,” ujarnya. (Baca juga: Kepala BKPM Berkomitmen Akan Jaga Investasi di Sektor Digital).
Ke depan, mau tidak mau pemerintah harus mulai memanfaatkan perkembangan ekonomi dunia untuk tumbuh lebih cepat. Salah satu hal yang akan dilakukan yaitu membangun infrastruktur lunak alias soft infrastructure, seperti aturan, khususnya di bidang ekonomi digital. Yang sudah dibuat adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI).
Dalam tahap ini, proses digitalisasi termasuk dengan menerapkannya pada sejumlah program pemerintah. Sebagai contoh yaitu penyaluran bantuan sosial, pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan non-tunai, dan penyaluran beras sejahtera. Misalnya, pemberian bantuan sosial yang semula masih secara konvensional dialihkan ke sistem online sehingga program tersebut lebih cepat bergulir dan tepat sasaran karena menerpkan konsep by name by address online.
Selain regulasi keuangan inklusi, sebentar lagi pemerintah akan mengeluarkan Perpres terkait perdagangan berbasis online atau e-commerce. Sebenarnya, tahap ini merupakan jalan lain untuk lebih mengenalkan keuangan inklusi kepada masyarakat. Setidaknya hal ini berkaca pada tingkat pemanfaatan keuangan melalui industri perbankan yang masih rendah. Bahkan mereka kerap berpikir, “Kalau bisa jangan pinjam. Padahal kita sudah masuk revolusi 4.0,” ujar Darmin.
Karena itu, dia mendorong ada upaya yang mengatur para pengumpul atau platform agregator, agar memfasilitasi masyarakat yang belum terakses perbankan ini. Namun, Darmin juga menakankan bahwa aturan terkait ekonomi digital tidak boleh terlalu mengekang agar para pelakunya bisa berinovasi.
Di sisi lain, tetap harus memerhatikan aspek keamanan dan transparansi, sehingga tidak ada wanprestasi. Selain itu, dia mengimbau pemanfaatan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) dalam mengkaji kebijakan agar seluruh masyarakat bisa terjangkau. (Baca pula: Bertemu Ratu Belanda, Darmin Paparkan Perluasan Layanan Finansial).
Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan bahwa dalam waktu dekat akan merilis aturan terkait financial technology (fintech). Secara garis besar, aturan tersebut akan berfokus pada transparansi dan kelayakan fintech seperti crowdfunding dan peer to peer lending dalam mengelola dana masyarakat. Tujuannya, agar konsumen terlindungi.
Aturan ini juga diharapkan membantu masyarakat mendapat pinjaman mengingat fintech bisa menyentuh daerah terpencil. “Nanti provider harus men-disclose dirinya sendiri. Transparansi juga tergantung pada pinjaman yang kecil beda dengan yang besar,” kata dia. Sayangnya, Wimboh belum mau menjelaskan secara detail mengenai aturan tersebut.