Nadiem ke Istana, Asosiasi E-commerce Berharap ‘Bakar Uang’ Diatur

Kominfo
Ilustrasi, acara Ignite The Nation, sebagai bagian dari Gerakan Nasional 1.000 Startup Digital yang digelar Minggu (18/8). Asosiasi e-commerce berharap kabinet baru Jokowi-Ma'ruf Amin mengatur tentang strategi 'bakar uang'.
21/10/2019, 11.56 WIB

CEO sekaligus Pendiri Gojek Nadiem Makarim datang ke Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, hari ini (21/10) dan mengenakan kemeja putih. Meski tidak mengomentari secara langsung terkait kehadiran Nadiem di Istana, Ketua Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung berharap, strategi ‘bakar uang’ diatur.

Selain itu, ia mengungkapkan tiga harapan terkait kebijakan ekonomi digital lima tahun ke depan. Pertama, aturan yang jelas terkait ekonomi digital. Ia mencontohkan, belum ada kejelasan terkait pajak e-commerce hingga saat ini.

Ia berharap, pemerintah berdiskusi lebih dulu dengan pelaku usaha dan menyosialisasikannya sebelum aturan terkait pajak e-commerce terbit. "Jangan hanya (Dirjen) Pajak yang dilibatkan, tetapi misalnya Kementerian Koordinator Perekonomian juga," katanya kepada Katadata.co.id, Senin (21/10).

Kedua, meningkatkan koordinasi antarkementerian. Apalagi, beredar kabar bakal ada kementerian terkait ekonomi digital. Apabila rumor ini benar, menurutnya hal itu akan berdampak positif. 

(Baca: Jelang Pengumuman Kabinet, Nadiem, Mahfud & Bupati Minahasa ke Istana)

Sebab, selama ini pelaku usaha di industri ekonomi digital berhubungan dengan banyak stakeholder seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan Kementerian Koordinator Perekonomian.

“Jadi cross kementerian. Namun sebaiknya ada main stakeholder-nya untuk membantu dalam mengoordinasikan komunikasi dengan kementerian lainnya," kata Ignatius.

Ia menilai, antarkementerian sering kali tidak kompak selama ini. Ia pun berharap, kementerian baru itu nantinya bisa mengintegrasikan komunikasi terkait ekonomi digital.

Ketiga, meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Ignatius menilai, SDM Indonesia di sektor ekonomi digital masih sangat minim. Bahkan, menurutnya komunikasi antara Kementerian Kominfo dan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi terkait program Digital Talent Scholarship belum begitu baik.

(Baca: Nadiem, Erick Thohir, Mahfud, dan Lutfi Disebut Masuk Kabinet Jokowi)

Ia menilai, program beasiswa SDM adalah solusi jangka pendek karena tidak menyasar perguruan tinggi secara langsung. "Padahal lulusan perguruan tinggi di Indonesia sebenarnya belum siap di industri (ekonomi digital). Ada banyak faktor, salah satunya banyak dosen yang tidak paham soal ini," katanya.

Kemenristekdikti seharusnya berperan penting jika ingin mengadopsi SDM di sektor ekonomi digital. "Mereka harus benar-benar berbenah (kurikulum mereka). Misalnya dengan menyelipkan kurikulum ekonomi digital," kata dia.

Selain itu, menurutnya ada satu tugas utama yang belum rampung dari pemerintah periode sebelumnya yakni pendekatan regulasi. Ia mencontohkan, pemerintah ingin berbagai hal agar tidak terlalu diatur dan membiarkan industri mengatur regulasinya sendiri. "Niat itu memang baik, tetapi kalau tidak difasilitasi juga susah karena para pemain masih memiliki ego yang besar," katanya.

Ia mencontohkan, industri otomotif dan elektronik yang sudah besar dan berpengalaman dapat dengan mudah mendapatkan data. Sedangkan industri e-commerce masih terkendala dalam memperoleh data. Ia menilai, hal ini disebabkan oleh ego sektoral masing-masing perusahaan yang masih tinggi. 

(Baca: Nadiem Disebut Jadi Menteri Baru, Menkominfo: Saatnya Mengabdi Bangsa)

Di samping itu, masih banyak perusahaan yang bertahan hidup karena pendanaan (funding). Maka, data-data perusahaan pun menjadi sangat sulit untuk dikumpulkan oleh asosiasi. "Jadi kami tetap butuh bantuan dari pemerintah untuk memfasilitasi, termasuk masalah promosi," kata dia.

Ignatius menilai, promosi alias 'bakar uang' di industri digital ini terjadi semakin 'gila' di Indonesia. Karena itu, ia berharap pemerintah mengatur industri ini. Sebab, ia khawatir hal ini bisa mengakibatkan sejumlah pemain baru sulit masuk ke industri tersebut.

"Pemerintah tetap harus mengatur hal-hal seperti promosi, misalnya dengan memberi batasan-batasan tertentu," katanya. Ignatius melanjutkan, promosi membuat ekosistem industri menjadi tidak sehat dan membawa dampak buruk bagi pasar. 

(Baca: Babak Baru Pertarungan Gojek dan Grab di Tiga Layanan)

Ia menilai, sejatinya setiap pemain akan mengikuti arahan pemerintah jika industri mereka diatur. Ia mencontohkan, industri berbagi tumpangan (ride-hailing) sudah diatur oleh Kemenhub dengan tarif batas atas dan bawah.

"Setelah dijalani, akhirnya (aplikator) pun mengikuti aturan tersebut. Meskipun, terkadang mereka juga masih memberi promosi. Jadi hal-hal seperti ini juga tetap harus diatur," kata Ignatius. 

Selanjutnya, ia menilai pemerintah harus lebih memikirkan program-program inisasi terkait industri digital dalam jangka panjang. P rogram Digital Talent Scholarship misalnya, menurutnya hanya berfokus pada peningkatan jumlah startup baru, tetapi kurang memperhatikan tingkat kelangsungan hidup (survival rate) mereka.

Padahal, ia mencatat tingkat survival rate startup di Indonesia masih di bawah 5 %. “Artinya dari 100 startup tidak sampai lima startup yang bertahan. Ini bakal berbahya," katanya. Karena itu, menurutnya tingkat pertumbuhan startup itu seharusnya diimbangi dengan keberlangsungan perusahaan. 

(Baca: GoPay, OVO, LinkAja dan DANA Ungkap Soal Strategi ‘Bakar Uang’)

Reporter: Cindy Mutia Annur