Kurikulum Pendidikan Jadi Biang Masalah RI Defisit Talenta Digital

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Ilustrasi, pengunjung melihat alat teknologi robot pada Pameran Inovator Inovasi Indonesia Expo (I3E) 2019 di Jakarta Convention Center, Kamis (3/10/2019).
16/10/2020, 19.55 WIB

Undang-undang atau UU Omnibus Law Cipta Kerja mengatur tentang perizinan tenaga kerja asing, termasuk di startup. Padahal, Yayasan Markoding menilai bahwa defisit talenta digital terjadi karena kurikulum pendidikan belum sesuai dengan kebutuhan industri.

Co-Founder Markoding Amanda Simandjuntak mengatakan, pelajaran terkait teknologi informatika (IT) di Tanah Air tertinggal dibandingkan negara lain. Ia mencontohkan, beberapa sekolah masih berfokus mempelajari Microsoft Office.

Bahasa pemrograman pun masih memakai Pascal. "Ini tidak relevan dengan kebutuhan industri saat ini,” Amanda dalam acara M-Class: Meraih Sukses di Era Digital dengan Belajar Coding, Jumat (16/10).

Oleh karena itu, ia mencatat hanya 56% lulusan IT yang diserap oleh perusahaan. "Ada kesenjangan kemampuan," kata dia.

Ia menyampaikan, kebutuhan pelaku usaha akan keahlian pemrogram (programmer) terus berubah. Ini sejalan dengan bahasa pemrograman yang semakin banyak seperti JavaScript, Swift, Kotlin, Go, Rust hingga Julia.

Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2015 yang diolah oleh Lembaga Demografis Universitas Indonesia, ketidaksesuaian tingkatan pendidikan di Indonesia 53,33% dari skala vertikal. Sedangkan ketidakcocokan berdasarkan skala horizontal mencapai 60,52%. Data ini berdasarkan survei terhadap 12,4 juta responden lulusan diloma I ke atas.

Di satu sisi, riset McKinsey dan Bank Dunia menunjukkan, Indonesia membutuhkan sembilan juta tenaga digital hingga 2030. Ini artinya, ada kebutuhan 600 ribu pekerja digital per tahunnya.

Berdasarkan data marketplace pencarian kerja, Ekrut misalnya, ada kenaikan permintaan sumber daya manusia (SDM) di bidang teknologi informasi pada tahun ini. Rinciannya, kebutuhan data analyst dan scientist naik 76,59%, pemasaran merek 66%, perencana strategi 62,78%, full stack engineer 50,85%, dan keamanan siber 23,91%.

Gaji yang ditawarkan beragam, mulai dari Rp 19 juta hingga Rp 20 juta per bulan untuk pekerja berpengalaman tiga sampai lima tahun.

Hal senada disampaikan oleh perusahaan penyedia situs lowongan kerja hingga menyuplai calon pekerja, TopKarir. Ada lima jenis pekerjaan yang diburu oleh banyak korporasi, yakni staf penjualan, pemasaran, pelayanan konsumen, data analisis, dan data scientist.

Dengan kondisi seperti itu, Amanda mencatat banyak perusahaan yang merekrut tenaga kerja asing untuk memenuhi kebutuhan. Untuk mengantisipasi hal ini, menurutnya pemerintah perlu membenahi kurikulum.

Selain itu, bisa memperbanyak pelatihan IT secara non-formal. "Buat pelatihan. Rekrut mentor dan terjun langsung. Latih untuk mengatasi defisit talenta digital, bukan mendatangkan tenaga kerja asing," katanya.

Markoding pun memberikan pelatihan pemrograman komputer atau coding, dan telah menjangkau 500 peserta. Ini menghasilkan 162 solusi digital.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bima Yudhistira pun sepakat untuk tidak mempermudah izin penggunaan tenaga kerja asing. Ia mencatat, 50 ribu hingga 70 ribu lulusan IT per tahun di Indonesia.

"Kalau permasalahannya skill missmatch, ini tugas perguruan tinggi dan pemerintah untuk menyesuaikan dengan kebutuhan industri. Jalan pintas dengan memudahkan pekerja asing masuk tanpa rencana penggunaan dan izin, justru blunder bagi serapan tenaga kerja lokal di startup,” ujar Bima kepada Katadata.co.id, kemarin (15/10).

Apalagi, jumlah lulusan universitas di Indonesia terus meningkat. Ini tecermin pada Databoks di bawah ini:

Jika lulusan tersebut tidak terserap, maka berpotensi menambah angka pengangguran di Tanah Air. Secara rinci dapat dilihat pada Databoks berikut:

Di satu sisi, pemerintah memilih untuk mempermudah izin penggunaan pekerja asing untuk mengatasi defisit talenta digital di Tanah Air. Dalam draf UU Omnibus Law Cipta Kerja versi terakhir yang berisi 812 halaman mengubah beberapa aturan UU Ketenagakerjaan.

Salah satu yang diubah yakni Pasal 42 ayat 1, menjadi berbunyi, “setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki pengesahan rencana penggunaan dari pemerintah pusat."

Sebelumnya, perusahaan harus memiliki izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Kemudian pada ayat 3 disebutkan, pemerintah menambahkan pihak yang bebas dari persyaratan sebagaimana tercantum di ayat 1. Sebelumnya, ini hanya berlaku bagi perwakilan negara asing yang menggunakan pekerja dari luar negeri sebagai pegawai diplomatik dan konsuler.

Pada UU Omnibus Law, privilese itu berlaku juga untuk direksi atau komisaris dengan kepemilikan saham tertentu. Selain itu, bagi pemegang saham dan tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh pemberi kerja pada jenis kegiatan produksi yang terhenti karena keadaan darurat, vokasi, startup, kunjungan bisnis, dan penelitian untuk jangka waktu tertentu.

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan