Perusahaan penyedia jasa pariwisata berbasis digital atau online travel agent (OTA), Traveloka disebut-sebut siap untuk mencapai titik impas pada tahun depan, dan bahkan berpotensi untung. Namun, ini jika industri perjalanan pulih setidaknya 50% dibandingkan sebelum ada pandemi corona.
Hal itu dilaporkan pertama kali oleh DealStreetAsia. Katadata.co.id pun mengonfirmasi mengenai potensi tersebut kepada Traveloka, tetapi belum ada tanggapan hingga berita ini dirilis.
Co-Founder sekaligus CEO Traveloka Ferry Unardi sempat menyampaikan bahwa perusahaan berada pada jalur yang tepat untuk meraup keuntungan. Ini disampaikan saat wawancara dengan jurnalis Bloomberg, pada November tahun lalu.
Pandemi virus corona lantas menghantam bisnis industri pariwisata, termasuk Traveloka. Pada Juli lalu, Ferry menyampaikan bahwa permintaan konsumen menurun drastis, sementara pengembalian dana (refund) melonjak signifikan.
Tingkat hunian hotel juga menurun ke level terendah. Mitra aktivitas lifestyle di domestik maupun regional, serta restoran bahkan harus menutup operasional bisnis untuk sementara waktu karena pandemi Covid-19.
Itu mengakibatkan bisnis Traveloka jatuh ke titik terendah yang belum pernah terjadi sejak pertama berdiri.
Meski begitu, Ferry optimistis perusahaannya akan bangkit kembali dengan adanya penyesuaian strategi bisnis secara cepat. Di Vietnam misalnya, bisnis mulai stabil dan mendekati periode sebelum adanya pandemi Covid-19.
Sedangkan di Thailand, hampir melampaui 50% dibandingkan situasi normal. “Meskipun Indonesia dan Malaysia masih berada di tahap awal pemulihan, tapi kedua pasar ini terus memperlihatkan momentum yang menjanjikan dengan kemajuan dari minggu ke minggu,” kata Ferry dikutip dari siaran pers, Juli lalu (28/7).
Tingkat hunian hotel di Indonesia misalnya, mulai meningkat dibandingkan Maret. Ini tecermin pada Databoks di bawah ini:
Traveloka memang meluncurkan beberapa layanan baru di tengah pandemi Covid-19. Pada April, unicorn ini menyediakan fitur konten video Jendela XERU pada platform Traveloka Xperience.
Kemudian, menghadirkan paket donasi mulai dari Rp 11 ribu hingga Rp 27 ribu per porsi untuk mendukung mitra restoran Traveloka Eats pada Mei lalu. Lalu, perusahaan menyediakan layanan uji tes risiko tertular Covid-19 di 44 kota pada Juni.
Traveloka juga promosi berupa flash sale melalui fitur siaran langsung (live streaming) di media sosial. Perusahaan gencar memasarkan produk dengan konten seputar staycation, roadtrip, dan lainnya yang sesuai dengan protokol kesehatan.
Salah satu mitra, The Alana Hotel and Conference Center Malioboro Yogyakarta menyebutkan bahwa pemesanan kamar saat itu naik 1.100% dibandingkan sebelum adanya diskon. Traveloka juga mencatat bahwa transaksi mulai meningkat, meski belum kembali ke kondisi sebelum adanya pandemi.
Menyadari potensi itu, perusahaan meluncurkan fitur Buy Now Stay Later untuk akomodasi dan Mesin Waktu dari Traveloka Xperience. Ini memungkinkan pengguna memesan layanan terlebih dulu, sedangkan menginap atau bepergian ditentukan kemudian.
Pada bulan yang sama, perusahaan juga meluncurkan fitur siaran langsung di platform Traveloka LIVEstyle. Sebulan kemudian, startup ini menyediakan jasa tes cepat (rapid test) risiko tertular virus corona di Bandara Soekarno Hatta.
Untuk dapat terbang menggunakan pesawat, calon penumpang memang harus memiliki surat keterangan bebas Covid-19 berdasarkan hasil rapid test maupun PCR.
Selain itu, Traveloka menggandeng Pemerintah Kabupaten Banyuwangi untuk mendigitalisasi pemasaran produk pariwisata pada akhir Juli.
Lalu, menggaet delapan maskapai penerbangan yang memungkinkan pengguna mengubah jadwal penerbangan berkali-kali tanpa dikenakan biaya tambahan. Perusahaan yang diajak kerja sama yakni Garuda Indonesia, All Nippon Airways, Cathay Pacific, Singapore Airlines, Scoot, Jetstar, Japan Airlines, dan American Airlines.
Yang terbaru, Traveloka meluncurkan tur virtual. “Ini menjadi peluang dan pembuka jalan di tujuh negara di mana kami beroperasi,” kata Head of Marketing Traveloka Xperience Terry Santoso saat konferensi pers peluncuran fitur tur virtual, pada awal Oktober lalu (8/10).
Traveloka menggunakan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dan maha data atau big data untuk memberikan rekomendasi wisata secara virtual. Selain itu, ada pramuwisata yang menjelaskan mengenai destinasinya.
Fitur itu dapat diakses pengguna di Bali, dan akan diluncurkan di Nusa Tenggara Barat, Sumatera Barat, dan lainnya bulan depan. Traveloka mengenakan biaya mulai dari Rp 50 ribu untuk layanan ini.
Traveloka bekerja sama dengan perusahaan teknologi di sektor pariwisata, Atourin untuk menyediakan fitur tur virtual. Atourin menyediakan layanan one-stop-solution bagi wisatawan seperti informasi obyek wisata, rekomendasi rencana perjalanan, dan jasa pemesanan pemandu wisata tersertifikasi.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama Kusubandio pun berharap, layanan digital dapat menciptakan ekosistem yang lebih kuat. “Ada tur virtual interaktif yang menyinergikan berbagai pihak di sektor pariwisata,” kata dia.
Layanan siaran langsung dan tur virtual juga sudah dilakukan di Tiongkok. Unit bisnis Alibaba di bidang pariwisata, Fliggy bahkan menggelar setidaknya 25 ribu acara online sejak Februari hingga awal Juni, dan menarik lebih dari 70 juta pemirsa.
“Tur virtual melalui siaran langsung tidak lagi hanya menjadi cara hidup saat pandemi corona, tetapi kebiasaan baru," kata pemimpin divisi siaran langsung Fliggy, Xu Xiang dikutip dari Asian Nikkei Review, Juni lalu (4/6).
Perusahaan perjalanan online di bawah Trip.com Group, Ctrip juga bertaruh pada layanan tur virtual. Korporasi ini menginvestasikan 1 miliar yuan atau US$ 140 juta untuk produk yang diluncurkan Maret ini.
Ctrip bermitra dengan otoritas pariwisata dan hampir 10 ribu merek, termasuk maskapai penerbangan, hotel, dan operator objek wisata di Tiongkok.
Analis di Fitch Solutions Kenny Liew mengatakan, tur virtual dapat menarik pelancong yang lebih tua dan mereka yang memiliki masalah mobilitas. Selain itu, pelajar.
“Perusahaan dapat menyediakan rencana perjalanan yang dipersonalisasi untuk sekolah, dengan biaya yang lebih rendah daripada harus bepergian langsung,” kata Liew dikutip dari ChannelNewsAsia, September lalu (25/9).
Sedangkan analis di perusahaan riset pasar perjalanan, Phocuswright, Chetan Kapoor menilai bahwa tur virtual dapat membangun minat masyarakat untuk bepergian setelah diizinkan oleh otoritas. “Peran gambar, konten deskriptif, video, dan sebagainya sangat membantu dalam mendorong pengambilan keputusan," kata dia.
Langkah Traveloka untuk Untung yang Terhambat Corona
Traveloka sebenarnya berencana menawarkan saham perdana (Initial Public Offering/IPO) pada 2021 hingga 2022. Pada November lalu, Ferry mengatakan bahwa bisnisnya stabil dan optimistis bakal meraup keuntungan dalam beberapa tahun ke depan.
Perusahaan pun berfokus layanan di sektor gaya hidup dan finansial. “Kami mengikuti tren konsumen. Tak hanya layanan perjalanan, tetapi juga pemesanan film, spa hingga voucer restoran," ujar Ferry saat wawancara dengan jurnalis Bloomberg, November tahun lalu (22/11/2019).
Traveloka setidaknya memiliki 20 lebih produk. Ada tujuh terkait perjalanan seperti pemesanan tiket pesawat, bus, kereta hingga sewa mobil. Lalu ada empat seputar penginapan.
Kemudian lima layanan mengenai gaya hidup, seperti pemesanan tiket menonton film di bioskop, Traveloka Xperience, restoran, city guides, dan voucer. Selain itu, ada tujuh produk terkait keuangan yakni asuransi, poin, paylater, dompet digital melalui Uangku, isi ulang saldo, konektivitas dan data, serta international data plans.
Namun, langkah Traveloka di jalur untuk meraup keuntungan itu terganjal pandemi virus corona. Berdasarkan data CB Insights, jumlah kunjungan ke platform per bulannya turun 7,02% per awal September.
Oleh karena itu, perusahaan meluncurkan beragam layanan baru seperti tes risiko corona hingga tur virtual. Dengan beragam strategi ini, Traveloka masih mendapatkan pendanaan US$ 250 juta atau sekitar Rp 3,6 triliun pada Juli lalu.
Dana segar itu diperoleh dari salah satu institusi keuangan global. Selain itu, investor terdahulu (existing investor) berpartisipasi dalam pendanaan, termasuk EV Growth.
“Kami sangat paham bahwa sektor ini mungkin akan mengalami turbulensi lebih lanjut dengan adanya gelombang Covid-19 berikutnya. Namun kami siap untuk menghadapi tantangan ini dan berdiri tegap setelah pandemi ini berlalu,” ujar Ferry, dikutip dari siaran pers, Juli lalu (28/7).
Berdasarkan data ICAO per Oktober, jumlah penumpang maskapai penerbangan di Asia Pasifik untuk domestik, diprediksi turun 607 juta hingga 628 juta dibandingkan sebelum ada pandemi.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani pun menyampaikan, transportasi merupakan salah satu sektor yang paling tepukul pandemi, selain pariwisata, makanan dan minuman. Rincian sektornya dapat dilihat pada Databoks berikut:
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah turis asing yang melancong ke Indonesia turun 59,9% secara tahunan (year on year/yoy) menjadi 3,09 juta pada semester pertama. Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, perlu ada inovasi untuk menarik wisman ke Indonesia.
Meski begitu, Fitch Ratings memperkirakan bahwa permintaan layanan penerbangan di Indonesia mulai naik tahun depan. “Jumlah kilometer yang ditempuh oleh penumpang pesawat (revenue passenger kilometer/RPK) diperkirakan rerata 35% dibandingkan kondisi normal pada tahun ini dan 60% di 2021,” demikian dikutip dari laporan, akhir bulan lalu (28/9).
Namun, pemulihan di Vietnam diramal jauh lebih cepat dibandingkan Indonesia, Filipina, Thailand, dan Malaysia masih tinggi. Ini karena karena kasus Covid-19 yang rendah.
Selain itu, Google, Temasek dan Bain and Company pada 2019 memperkirakan, nilai transaksi bruto (gross merchandise value/GMV) travel online di Asia Tenggara US$ 34,48 miliar atau setara Rp 483 triliun pada tahun lalu. Rinciannya dapat dilihat pada Databoks berikut:
Sedangkan di Indonesia, nilainya diprediksi US$ 10 miliar pada tahun lalu dan US$ 25 miliar di 2025. Ini terlihat pada Databoks di bawah ini: