- Tiongkok meminta Jack Ma merombak bisnis Ant Group dan hanya berfokus pada fintech pembayaran
- Jack Ma belum muncul ke publik sejak akhir Oktober
- Pengetatan regulasi dan tekanan Tiongkok terhadap Alibaba dinilai berpengaruh terhadap startup Indonesia
Tiongkok menekan bisnis Jack Ma dengan mengeluarkan aturan baru, menyelidiki dugaan monopoli Alibaba, dan meminta Ant Group merombak usaha. Tekanan ini dinilai dapat berpengaruh terhadap startup Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Hal itu karena Alibaba Group dan afiliasinya Ant Group berinvestasi di banyak sektor startup di Indonesia. Sedangkan pemerintah Tiongkok menerbitkan aturan antimonopoli baru pada awal November yang berpengaruh terhadap raksasa teknologi ini.
“Regulasi itu diperkenalkan agar pemerintah dapat menegaskan supremasinya atas Jack Ma,” kata CEO di startup fintech asal Amerika Serikat (AS), Capital, Blair Silverberg, dikutip dari Business Insider, Selasa (5/1).
Sedangkan Jack Ma belum juga muncul ke hadapan publik sejak akhir Oktober atau setelah berpidato dalam acara Bund Summit di Shanghai. Dalam pertemuan itu, Ma mengatakan bahwa Beijing menghambat inovasi, khususnya di bidang keuangan.
Taipan Tiongkok itu pun dipanggil oleh Beijing pada awal November lalu (2/11/2020). Ma tak lagi muncul ke publik sejak saat itu. Selain itu, pemerintah meminta Ant Group menunda penawaran saham perdana alias IPO.
Beijing juga menyelidiki Alibaba atas dugaan monopoli sejak akhir Desember. Sedangkan Bank sentral Tiongkok atau PBOC memanggil Ant Group dan meminta perusahaan mengubah bisnis, sehingga hanya berfokus pada teknologi finansial (fintech) pembayaran.
“Kami akan mempelajari secara serius dan ketat untuk mematuhi semua persyaratan regulasi dan berkomitmen penuh dalam memenuhi semua pekerjaan terkait," kata Ant Group dalam pernyataan resminya, dikutip dari South China Morning Post (SCMP), akhir bulan lalu (24/12/2020).
(BACA JUGA: Jack Ma "Menghilang", Zhong Shanshan Jadi Orang Terkaya Baru di Asia)
Pendiri sekaligus CEO Momentum Works Li Jianggan menilai bahwa kebijakan itu akan berpengaruh terhadap startup Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Momentum Works merupakan perusahaan venture builder yang berbasis di Singapura.
“Dampak penuh dari gelombang regulasi di Tiongkok akan membutuhkan waktu untuk diselesaikan. Ini bakal membuat petinggi Ant Group sibuk untuk sementara waktu. Rencana bisnis, termasuk ekspansi internasional, mungkin akan dihentikan,” kata dia dikutip dari Channel News Asia, akhir bulan lalu (29/12/2020).
Sedangkan investasi Alibaba dan Ant Group di Indonesia dapat dilihat pada Tabel di bawah ini:
E-Commerce | Alibaba | Tokopedia |
Lazada (Singapura)* | ||
Ant Group | Bukalapak | |
Fintech pembayaran | Alibaba | True Money (Thailand)* |
Ant Group | DANA | |
Fintech lending | Alibaba | Akulaku |
Asetku (lewat Akulaku) | ||
Bank Digital | Alibaba | Neo Commerce (lewat Akulaku |
Logistik | Alibaba | J&T Express |
Trimuda Nuansa Citra (lewat Akulaku) |
*Startup asing yang beroperasi di Indonesia
Li mencatat, Alibaba dan Ant Group gencar berinvestasi di Asia Tenggara. Ant Group berinvestasi di eMonkey Vietnam, Touch N Go Wallet Malaysia, GCash Filipina, TrueMoney Thailand, Wave Money Myanmar, dan M-daq Singapura. Raksasa fintech ini juga membeli layanan pembayaran HelloPay dari Lazada.
Ant Group juga dikabarkan ingin berinvestasi anak usaha Grab yakni Grab Financial. Sedangkan Alibaba disebut-sebut tengah berdiskusi untuk menanamkan modal di Grab.
Li memperkirakan, investasi dari Alibaba dan Ant Group melambat akibat regulasi baru Tiongkok. “Kepemimpinan Ant akan berfokus pada restrukturisasi bisnisnya pada 2021. Ini berarti para eksekutif di kantor regional mungkin cenderung untuk mengambil pendekatan menunggu dan melihat atas setiap langkah strategis baru atau akuisisi besar,” ujar dia.
Selain itu, Li memperkirakan bahwa Ant Group akan gencar menyasar pasar keuangan Asia Tenggara melalui bisnis bank digital. Perusahaan afiliasi Alibaba ini memang sudah mendapatkan lisensi bank digital dari otoritas Singapura pada akhir tahun lalu.
Ant Group juga dinilai bakal mengandalkan perusahaan patungan untuk menggaet lebih banyak konsumen di masing-masing negara di Asia Tenggara, ketimbang akuisisi. “Mereka (perusahaan patungan di bawah Ant) yang memiliki kepemimpinan lokal kuat, di mana peran Ant terbatas, kemungkinan besar akan berhasil dibandingkan dengan akuisisi,” kata Li.
Meski begitu, raksasa teknologi Tiongkok identik dengan gurita bisnis di banyak sektor da negara. Ini tampak pada Bagan di bawah ini:
Li mengatakan, pasar regional menjadi semakin penting bagi Alibaba karena persaingan di Negeri Panda semakin ketat. “Grup berupaya mendiversifikasi sumber pendapatannya secara global,” kata Li dikutip dari ChannelNewsAsia, September lalu (23/9/020). “Supaya tetap relevan di Asia Tenggara, Alibaba perlu menilai ulang strateginya dan membuat penyesuaian besar dalam operasi dan investasi.”
Selain itu, investor Tiongkok beralih dari India ke Indonesia karena kebijakan pemerintah di Negeri Bollywood. Dua di antaranya yang beralih yakni Shunwei Capital milik pendiri Xiaomi dan BAce Capital yang didukung oleh Ant Group.
Shunwei Capital berencana untuk menutup lebih banyak kesepakatan di Indonesia. Ini karena pemerintah India mengeluarkan aturan baru untuk investor Tiongkok dan melarang aplikasi Negeri Tirai Bambu.
“Asia Tenggara akan memiliki profitabilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan Tiongkok,” kata kepala keuangan Finvolution, Ho Tak Leung dikutip dari SCMP, bulan lalu (17/12/2020).
Investor Tiongkok memilih Indonesia, karena populasinya yang besar. Jumlah pengguna internet pun hampir mencapai 200 juta, sebagaimana Databoks di bawah ini:
Berdasarkan laporan Google, Temasek, dan Bain and Company bertajuk ‘e-Conomy SEA 2020’ nilai ekonomi berbasis internet di Asia Tenggara US$ 105 miliar atau sekitar Rp 1.475 triliun pada tahun ini. Sebanyak US$ 44 miliar atau Rp 619 triliun di antaranya disumbang oleh Indonesia.
Nilai ekonomi digital di Indonesia tumbuh 11% dibandingkan tahun lalu (year on year/yoy), sementara Vietnam 16%. “Keduanya yang terkuat di regional,” kata Partner and Leader, Bain and Company’s Southeast Asia Private Equity Practice Alessandro Cannarsi dalam acara virtual pemaparan e-Conomy 2020, November tahun lalu (24/11).
Selain itu, aturan startup teknologi di Indonesia belum diatur ketat. “Bear in our mind bahwa kita juga menginginkan platform e-commerce Indonesia menjadi perusahaan skala regional atau internasional. Maka regulatory framework Indonesia juga harus menyesuaikan dengan norma global,” kata Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) periode 2014-2019 Rudiantara dalam acara virtual peluncuran ‘Studi Lazada: Percepatan Ekonomi Digital Indonesia melalui E-Commerce’, Desember lalu (17/12).
Sedangkan Presiden Komisaris SEA Group Indonesia Pandu Patria Sjahrir menilai, Kominfo perlu mengatur sektor teknologi. Ini karena kapitalisasi pasar startup di Nusantara melonjak.
Ia mencatat, nilainya sekitar US$ 50 juta pada delapan tahun lalu. “Sekarang, kalau digabung semua perusahaan teknologi yang berbisnis di Indonesia, nilainya lebih besar dibandingkan telekomunikasi,” kata dia dalam webinar bertajuk 'Strategi Mempercepat Pemulihan Ekonomi dari Krisis' yang diselenggarakan oleh Katadata.co.id, November tahun lalu (2/11).
Sedangkan dari sisi layanan keuangan digital, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengantisipasi lima risiko yakni dari sisi regulasi, operasional, strategis, teknologi, dan data.
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono mengamati perkembangan big tech, seperti Amazon dan Alibaba yang melebarkan sayap hingga masuk ke sektor keuangan. Transformasi ini dinilai menjadi tantangan bagi otoritas keuangan. "Isu risiko sistemik harus diantisipasi saat merespons disrupsi digital," ujar dia dalam acara virtual Indonesia Digital Conference yang digelar oleh Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Selasa (15/12).