Startup Besar Indonesia Melirik Potensi Bisnis Ramah Lingkungan

123RF.com/Sergey Nivens
Ilustrasi
Penulis: Desy Setyowati
22/2/2021, 17.20 WIB
  • Gojek merambah bisnis ekonomi hijau lewat GoGreener, sementara Tokopedia dan JD.ID berfokus menggaet penjual dengan konsep ramah lingkungan
  • Potensi ekonomi hijau di Asia Tenggara diprediksi US$ 1 triliun per tahun pada 2030
  • Investor berfokus menyasar startup berdampak sosial di Indonesia, ketimbang sekadar ekonomi hijau

Startup di Indonesia seperti Tokopedia dan Gojek mulai melirik bisnis ramah lingkungan. Namun investor menilai bahwa perusahaan rintisan yang memberikan dampak sosial dan lingkungan lebih diminati, ketimbang hanya berfokus pada ekonomi hijau.

Tokopedia berfokus memberikan panggung kepada mitra penjual yang menawarkan konsep ramah lingkungan seperti Demi Bumi, Burgreens, Custombox Indonesia, dan NutriMart. External Communications Senior Lead Tokopedia Ekhel Chandra Wijaya berharap, langkah ini mendorong masyarakat untuk ikut menjaga keberlangsungan lingkungan.

“Selain itu, berkontribusi pada pemulihan ekonomi Indonesia di tengah pandemi corona,” kata Ekhel dalam siaran pers akhir pekan lalu (19/2).

Custombox Indonesia menawarkan solusi kotak kemasan untuk pebisnis dari berbagai bidang, mulai dari makanan, fashion hingga kecantikan. Kemasan ini terbuat dari kertas kraft hasil daur ulang. Sedangkan Nutrifood menempatkan dropbox sampah kemasan kertas, plastik dan kaca di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).

Lalu, Demi Bumi memasarkan berbagai produk dan kemasan ramah lingkungan, seperti tas yang didaur ulang dari vitrase gorden. Sedangkan Burgreens bergerak di industri makanan dan minuman yang menggunakan bioplastik terbuat dari singkong.

Sebelumnya, Ekhel menyampaikan bahwa Tokopedia berfokus memberikan panggung kepada penjual ramah lingkungan di platform untuk mengurangi konsumsi sampah. Apalagi, kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan bahwa 96% paket barang yang diantarkan ke pengguna e-commerce dibungkus dengan plastik tebal dan bubble wrap.

Kajian itu dilakukan selama 20 April hingga 5 Mei 2020. Riset ini tertuang dalam studi berjudul 'Dampak Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Work From Home (WFH) Terhadap Sampah Plastik di kawasan Jabodetabek.

E-commerce lainnya yakni JD.ID meluncurkan program dan kanal khusus busana berkelanjutan atau sustainable fashion dengan menggaet Tencel pada November tahun lalu. Merek milik Lenzing  Group ini menawarkan busana berbahan serat alami.

Sedangkan Gojek meluncurkan layanan khusus yakni GoGreener, yang diluncurkan pada September tahun lalu. Fitur itu hadir dalam bentuk kartu acak atau shuffle card digital di halaman depan aplikasi.

Layanan itu memungkinkan pengguna menghitung emisi karbon yang dikeluarkan per hari, lalu mengonversinya dengan menanam pohon. Gojek menggandeng Jejak.in untuk menyediakan produk ini.

Setidaknya ada 1.500 pohon mangrove atau bakau yang dibeli oleh pengguna Gojek. Pohon itu ditanam di Jakarta, Demak, dan Bontang pada akhir tahun lalu.

Program Manager GoGreener Carbon Offset Yoanita Simanjuntak mengatakan, perusahaan memperluas cakupan karbon yang akan diserap pada tahun ini. "Apalagi sekarang masih tren bekerja dari rumah atau WFH. Pastinya penggunaan alat elektronik (yang menghasilkan emisi karbon) semakin tinggi," katanya saat konferensi pers virtual, tiga pekan lalu (4/2).

Fitur GoGreener di aplikasi Gojek (Gojek)

Sedangkan Jejak.in merupakan salah satu startup yang mengikuti program akselerasi Gojek Xcelerate. Selain Jejak.in, perusahaan rintisan dengan model bisnis ekonomi hijau lainnya yakni Waste4Change, Smash, dan Evo and Co.

Perusahaan-perusahaan tersebut sejak awal memulai bisnis berfokus pada ekonomi hijau. Sedangkan layanan GoGreener pada Gojek bukan termasuk dalam bisnis inti. Lalu, Tokopedia dan JD.ID masih berfokus pada program kampanye.

Riset Bain and Company mencatat, negara-negara di Asia Tenggara lambat dalam beralih ke ekonomi hijau. Padahal, transformasi bisnis menuju ekonomi yang lebih hijau di wilayah ini menawarkan keuntungan US$ 1 triliun per tahun pada 2030.

Potensi ekonomi hijau per tahun di Asia Tenggara pada 2030 (atas) dan peluang transformasi ke ekonomi berkelanjutan bawah). (Bain and Company)
Green Jobs, Masa Depan Ekonomi dan Lapangan Kerja (Katadata)

“Potensi tersebut termasuk nilai dari pertumbuhan produk dan munculnya sektor baru dari produksi dan konsumsi yang berkelanjutan, serta penghematan sumber daya,” demikian dikutip dari laporan Bain and Company bertajuk ‘Southeast Asia’s Green Economy: Pathway to Full Potential’, November tahun lalu (25/11/2020).

Bain and Company juga menilai bahwa negara-negara di kawasan ini berpotensi memimpin dalam menghadirkan peluang ekspor produk inovatif, memperluas ke layanan baru, dan menangkap pangsa pasar global di bidang ekonomi hijau.

Sejauh ini, salah satu negara di Asia Tenggara yang mulai berfokus pada pembangunan berkelanjutan yang berfokus pada ekonomi hijau yakni Singapura. Negeri jiran ini meluncurkan Green Plan 2030 pada 10 Februari lalu.

Di dalamnya mencakup target penanaman satu juta pohon dan menghasilkan 30% kebutuhan nutrisi. Selain itu, meningkatkan riset di bidang teknologi berkelanjutan lewat Research and Innovation and Enterprise Plan 2025. 

Singapura juga menjadi rumah bagi sejumlah perusahaan rintisan teknologi hijau seperti Sunseap, RWDC, SensorFlow. Tech In Asia melaporkan, investasi ke sektor ini tumbuh dari US$ 5,5 juta pada 2015 menjadi US$ 170,9 juta tahun lalu.

Direktur Mandiri Capital Joshua Agusta mencatat, startup di Indonesia yang berfokus pada bisnis ekonomi hijau relatif sedikit. Ia juga melihat, baru perusahaan-perusahaan besar yang mengembangkan layanan ramah lingkungan.

Startup jumbo seperti Gojek pun belum memasukkan ekonomi hijau dalam bisnis inti.

“Kalau dilihat, startup yang dari awal mengejar bisnis ekonomi hijau kesulitan dari sisi model bisnis dan mencari investor. Environmentally friendly belum banyak. Investor juga tidak banyak yang paham,” ujar Joshua kepada Katadata.co.id, Senin (22/2).

Ia menilai bahwa investor saat ini tidak hanya berfokus pada bisnis ekonomi hijau, melainkan yang berdampak sosial dan lingkungan secara keseluruhan atau impact investment. Ini termasuk startup yang bergerak di ekonomi hijau, energi terbarukan, pendidikan, dan lainnya.

“Kalau pada 2035, mungkin gerakan green economy sudah mulai,” kata Joshua. “Tetapi kalau impact investment di Indonesia bisa dalam dua sampai tiga tahun ke depan.”

Impact investment diminati di Tanah Air karena jumlah penduduknya memang besar. Selain itu, ada banyak persoalan yang perlu diatasi, baik terkait pendidikan, kesehatan maupun lingkungan. “Pasar dan masalahnya besar, jadi kemungkinan investasinya besar,” ujar dia.

Data Mekar Indonesia menunjukkan, potensi impact investment di sektor energi US$ 4,44 miliar atau Rp 65 triliun. Di sektor agrikultura dan perikanan US$ 3,15 miliar (Rp 46 triliun), serta perairan US$ 2,4 miliar (Rp 31 triliun).

Total potensi investasi ke ketiga sektor itu mencapai Rp 142 triliun. “Potensi investasinya besar, tetapi belum ada yang masuk ke situ,” kata CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro dalam webinar bertajuk Sustainable Investing Opportunities, Katadata SAFE Forum 2020, Agustus tahun lalu (25/8/2020).

Ia menilai, rendahnya impact investment karena adanya anggapan peluang untung yang rendah. Selain itu, rencana kontigensi untuk melikuidasi aset atau exit strategy pada investasi ini dinilai lebih sulit.

Padahal, anggapan itu tak sepenuhnya benar. “Yang bermain di impact dan sustainable fund itu imbal hasilnya tidak kalah dengan commercial driven fund,” ujar Eddi.

Data Angel Investor Network Indonesia (ANGIN) menunjukkan, ada 120 pendanaan kepada bisnis sosial sejak 2013. Sebanyak 83 di antaranya dari impact investor, dan 27 lainnya dari modal ventura.

Nilai investasi dari impact investor selama 2019-2020 yakni US$ 147 juta atau Rp 2 triliun. Sedangkan dari modal ventura sekitar US$ 160 juta atau Rp 2,2 triliun.

Untuk nilai rata-rata per pendanaan yang diberikan (ticket size) dari impact investor yakni US$ 3 juta atau Rp 42 miliar. Sedangkan dari modal ventura US$ 2,5 juta atau Rp 35 miliar.

Data Dealroom menunjukkan, secara global, startup berdampak sosial yang paling diincar oleh investor yakni terkait perubahan iklim dan energi bersih. Investasinya berkontribusi lebih dari 50 miliar euro sejak 2015.