Mengenal Ula, Pesaing Bukalapak yang Disuntik Jeff Bezos - Tencent

Ula
Dari kiri ke kanan: COO Ula Riky Tenggara, CCO Derry Sakti, CEO Nipun Mehra, CTO Alan Wong
4/10/2021, 14.12 WIB

Startup Ula mengumpulkan pendanaan seri B US$ 87 juta atau sekitar Rp 1,24 triliun, yang dipimpin oleh Prosus Ventures, Tencent, dan B-Capital. Investor lain yang berpartisipasi yakni Bezos Expeditions, perusahaan venture capital milik pendiri Amazon, Jeff Bezos.

Selain itu, ada beberapa penanam modal di Asia Tenggara yang berpartisipasi yakni investor Gojek, Northstar Group, AC Ventures, dan Citius. Investor terdahulu seperti Lightspeed India, Sequoia Capital India, Quona Capital, dan Alter Global juga turut serta.

Startup e-commerce yang membidik warung itu juga disuntik modal oleh SMDV dan Saison Capital. Selain itu, Ula menggaet Komisaris Bursa Efek Indonesia (BEI) Pandu Sjahrir sebagai penasihat perusahaan.

Pendanaan seri B itu diumumkan hanya delapan bulan setelah seri A US$ 20 juta pada Januari. Startup ini juga baru mendapatkan pendanaan awal US$ 10,5 juta pada Juni 2020.

Ula berencana menggunakan dana segar ini untuk penambahan kategori produk baru, pengembangan layanan Beli-Sekarang-Bayar-Nanti atau Buy-Now-Pay-Later (BNPL), pembangunan teknologi baru, infrastruktur logistik, dan rantai pasokan lokal.

Startup itu menyasar pemilik warung tradisional, khususnya di kota tingkat (tier) dua hingga empat. Bukalapak juga membidik segmen ini lewat Mitra Bukalapak.

Co-Founder sekaligus Chief Commercial Officer Ula Derry Sakti menyampaikan, pemilik warung di wilayah tersebut menghadapi kendala akses terhadap sumber daya dan infrastruktur logistik. “Kami berusaha memperkuat kehadiran, memperbanyak pilihan produk, serta meningkatkan kualitas layanan di daerah perdesaan dan yang memiliki akses terbatas, dengan tujuan membantu para pemilik warung mempercepat proses pemulihan usah akibat Covid-19,” ujarnya dalam siaran pers, Senin (4/10).

Ia menyampaikan, pemilik warung bisa membeli barang untuk stok, memantau ketersediaan produk, atau bahkan memperbanyak opsi pembayaran. “Ini akan memberikan mereka waktu lebih banyak untuk berfokus kepada hal lain yang lebih penting,” kata Derry.

Startup Ula sendiri baru hadir 20 bulan di Indonesia, atau beroperasi saat pandemi corona. Namun perusahaan mengklaim bisnis tumbuh 230 kali lipat.

Ula kini menawarkan lebih dari 6.000 produk dan menggaet 70 ribu lebih warung. Ula juga memiliki tim yang tersebar di tiga negara.

Berdasarkan laman resmi, Ula menyediakan tiga layanan yakni:

  1. Lokapasar business to business (B2B): menyediakan produk dengan harga yang diklaim kompetitif
  2. Program penjualan berbasis komunitas
  3. Titik Ula: menawarkan pelaku UMKM atau siapapun untuk memanfaatkan tempat kosong yang dimiliki sebagai titik antar-jemput barang pesanan pelanggan Ula dan menghasilkan uang tambahan

Ula menggunakan data transaksi warung dan pengetahuan tentang pasar ritel untuk memberikan pilihan layanan pay later, yang nilai pasarnya diprediksi US$ 150 miliar di Indonesia.

Co-Founder sekaligus Managing Partner Northstar Patrick Walujo menyampaikan, perusahaan mengenal tim Ula bahkan sebelum beroperasi. “Kami mengamati pertumbuhan Ula dari dekat. Setelah lebih dari satu dekade berinvestasi di Asia Tenggara, kami menyaksikan bahwa perusahaan-perusahaan dengan misi sosial yang kuat dapat bertumbuh dengan sangat cepat,” katanya.

Ia juga melihat kesamaan misi dengan Ula dalam memberdayakan UMKM di Nusantara melalui teknologi. “Berharap dapat mendukung pertumbuhannya di Indonesia,” ujar Patrick.

Founder sekaligus Managing Partner AC Ventures Adrian Li menambahkan, misi Ula yaki memberdayakan 63 juta UMKM di Indonesia dengan teknologi digital. Ia menilai, ini merupakan salah satu peluang terbesar di Asia Tenggara mengingat UMKM berkontribusi lebih dari 60% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

“UMKM menyokong perekonomian Indonesia. Ula menyediakan pengadaan dan sistem operasional yang lebih efisien. Pada akhirnya membuka akses akan pemenuhan kredit yang sangat dibutuhkan untuk memperluas skala bisnis UMKM,” katanya.

Bukalapak juga menyasar warung. Jumlah mitra agen dan warung unicorn ini mencapai 8 juta per Agustus. Sedangkan volume transaksi per akhir tahun lalu 3,6 juta.

Berdasarkan mini expose Bukalapak yang diperoleh Katadata.co.id pada akhir Juni, unicorn itu mengklaim bahwa pangsa pasar warung digitalnya 39% di Indonesia. Total nilai proses bisnis atau total processing value (TPV) mitra agen dan warung rerata tumbuh 105% per tahun sejak 2018.

Pertumbuhan itu lebih tinggi dibanding lini marketplace. “Rerata penjualan mitra tumbuh tiga kali lipat sejak bergabung,” demikian dikutip dari mini expose Bukalapak.

Rincian pertumbuhan TPV Mitra per tahun, serta transaksi yang paling banyak dilakukan di agen dan warung, dapat dilihat pada Bagan di bawah ini:

Perbandingan rerata pertumbuhan TPV Mitra dan lini e-commerce Bukalapak per tahun selama 2018 - 2020 (Mini Expose Bukalapak, Katadata/Desy Setyowati)

Kontribusi Mitra terhadap pendapatan Bukalapak juga melonjak dari Rp 74 miliar pada 2019 menjadi Rp 199 miliar tahun lalu. Ini berasal dari komisi atas penjualan pedagang dan prinsipal Fast Moving Consumer Good atau FMCG.

Sejalan gencar menyasar warung, Bukalapak berfokus menggarap pasar di luar tier satu. Kota tingkat dua yang diincar seperti Yogyakarta, Manado, Solo, Palembang, dan Pekanbaru.

Tokopedia juga menyasar warung. Head of New Retail Tokopedia Karina Susilo mengatakan, perusahaan sudah menggaet jutaan warung. Namun ia tidak memerinci angka maupun target.

“Jumlah mitra warung jutaan di 500 kabupaten/kota,” kata Karina dalam virtual media briefing: Hari UMKM, Tokopedia Fokus Digitalisasi Warung, pada Agustus (12/8). “Dibandingkan dua tahun belakangan, jangkauan meningkat lebih dari dua kali lipat.”

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan