Perusahaan teknologi di Silicon Valley, Amerika Serikat (AS) mencatatkan penurunan harga saham dan melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK karyawan. Beberapa di antaranya bahkan disebut zombi unicorn. Investor dari kalangan modal ventura menilai, sentimen ini bisa saja berpengaruh ke startup Indonesia.
Silicon Valley merupakan pusat inovasi di Amerika yang mencetak banyak perusahaan teknologi raksasa seperti Apple, Facebook, Google, Netflix, Tesla, Twitter hingga Yahoo. Letaknya di selatan San Francisco, California, AS. Wilayah ini menampung sekitar 2.000 perusahaan teknologi.
Co-Founder sekaligus Managing Partner di Ideosource dan Gayo Capital Edward Ismawan mengatakan, perusahaan teknologi di Silicon Valley mengalami masa terburuk karena sejumlah faktor. Salah satunya, perusahaan tidak bisa tumbuh atau bertahan di tengah pandemi Covid-19 yang masih melanda.
Kemudian, kebijakan Bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed) yang menaikkan suku bunga acuan. Selain itu, kondisi geopolitik seperti konflik Rusia dan Ukraina yang meningkatkan kekhawatiran investor.
Menurutnya, faktor-faktor negatif tersebut bisa saja menimpa startup di Indonesia. "Sentimen bisa berpengaruh ke startup Indonesia, namun itu mungkin sesaat dan tergantung situasi," kata Edward kepada Katadata.co.id, Kamis (12/5).
Ia mengatakan, investor global yang berencana berinvestasi ke startup Indonesia pun bisa saja berpikir ulang melihat kondisi tersebut. Apalagi, menurutnya investor startup saat ini mengamati situasi pasar modal.
"Ini sangat berpengaruh juga ke sentimen di Indonesia," katanya.
Meski begitu, investor akan tetap melihat fundamental startup dan potensi pasar yang masih menjanjikan. Fundamental perusahaan rintisan dilihat dari besarnya pasar, pangsa pasar, dan lintasan pertumbuhan.
Sebelumnya, sejumlah perusahaan teknologi di Silicon Valley, AS mencatatkan kinerja buruk dan disebut zombie unicorn. Frasa zombi unicorn merujuk pada perusahaan rintisan bernilai tinggi tetapi goyah dan membutuhkan investor baru untuk menyelamatkan bisnis mereka.
Harga saham startup olahraga di Silicon Valley, Peloton misalnya turun dari US$ 163 pada akhir 2020 menjadi sekitar US$ 17 pekan lalu (5/5). The Wall Street Journal melaporkan, eksekutif perusahaan ingin menjual saham minoritas kepada investor luar.
Peloton juga memberhentikan ribuan karyawannya pada Februari.
Kemudian, perusahaan klip video selebritas Cameo merumahkan 87 orang atau sekitar seperempat dari total staf minggu lalu.
Lalu, platform investasi berbasis online untuk saham, kripto, dan emas, Robinhood mencatatkan penurunan harga saham 4,62% di Nasdaq minggu lalu (6/5). Robinhood juga memberhentikan 9% dari total karyawan penuh waktunya.
Perusahaan barang konsumen Thrasio juga dikabarkan memberhentikan sebagian karyawan. PHK ini menjadi bagian dari reorganisasi yang lebih besar perusahaan.
Kemudian, platform manajemen tenaga kerja Workrise memberhentikan sejumlah karyawan. Padahal, TechCrunch melaporkan bahwa perusahaan ini mengumpulkan pendanaan US$ 300 juta bulan ini sehingga menaikkan valuasinya menjadi US$ 2,9 miliar.
“Ini terjadi karena adanya sentimen negatif investor di Silicon Valley. Kejadian ini adalah yang paling buruk sejak kehancuran dot-com,” kata venture capitalist di San Francisco dan mantan eksekutif di PayPal David Sacks dikutip dari NBC News, Minggu (8/5).
Kehancuran dot-com terjadi pada dekade 2000-an. Saat itu terjadi fenomena yang dianggap sebagai sejarah kelam dalam bisnis teknologi digital. Sebab, banyak perusahaan teknologi yang tiba-tiba bangkrut.