Perusahaan modal ventura Jungle Ventures menyarankan startup portfolionya untuk tidak buru-buru mencatatkan saham perdana alias initial public offering (IPO). Ini karena investor saham mencermati inflasi hingga kebijakan moneter di banyak negara, sehingga terjadi volatilitas pasar.
Founding Partner Jungle Ventures Amit Anand menyampaikan, tiga startup portofolionya menunda rencana IPO. Ia tidak memerinci nama perusahaan rintisan yang dimaksud.
Namun, Kredivo merupakan salah satu startup portofolio Jungle Ventures. Pada Maret, perusahaan teknologi finansial (fintech) ini mengumumkan batal merger dengan perusahaan cek kosong (SPAC) VPC Impact Acquisition Holdings II.
Anand mengatakan, Jungle Ventures memang menyarankan startup portofolio untuk tidak terburu-buru kembali ke pasar, mengingat volatilitas baru-baru ini dan kendala sisi penawaran.
"Kami melihat sedikit koreksi besar,” kata Anand dikutip dari CNBC Internasional, akhir pekan lalu (19/5). “Jika mereka bisa, mereka harus memperhatikan ini sedikit lebih lama sebelum kembali ke pasar sehingga memiliki sedikit lebih banyak prediktabilitas.”
“Panduan kami secara keseluruhan kepada pengusaha di Asia Tenggara adalah, pasar akan dibatasi dari sisi pasokan dan (jika ada) kebutuhan untuk menopang pasokan, mereka harus lebih berfokus dalam mendapatkannya,” tambah dia.
Menurutnya, hal itu terjadi karena inflasi di banyak negara tinggi. Hal ini mendorong banyak negara menaikkan suku bunga acuan, seperti Amerika Serikat (AS).
“Namun, perusahaan-perusahaan itu pasti akan go public dalam jangka menengah hingga panjang,” katanya. “Janji menjadi CEO suatu perusahaan publik dan keuntungan yang menyertainya, pasti jauh lebih menarik daripada upaya untuk itu.”
Ia pun optimistis pada masa depan perusahaan teknologi di Asia Tenggara yang dapat IPO di masing-masing negaranya maupun global.
Sedangkan volatilitas harga saham juga tengah dirasakan oleh perusahaan teknologi di Silicon Valley, AS. Beberapa di antaranya juga melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK.
Silicon Valley merupakan pusat inovasi di Amerika yang mencetak banyak perusahaan teknologi raksasa seperti Apple, Facebook, Google, Netflix, Tesla, Twitter hingga Yahoo. Letaknya di selatan San Francisco, California, AS. Wilayah ini menampung sekitar 2.000 perusahaan teknologi.
Sejumlah perusahaan teknologi di Silicon Valley, AS mencatatkan kinerja buruk dan disebut zombie unicorn. Frasa zombi unicorn merujuk pada perusahaan rintisan bernilai tinggi tetapi goyah dan membutuhkan investor baru untuk menyelamatkan bisnis mereka.
Managing Partner East Ventures Roderick Purwana mengatakan, masa terburuk perusahaan teknologi Silicon Valley itu terjadi karena sejumlah pemicu, seperti:
- Ekspektasi investor kepada perusahaan teknologi berkurang setelah pandemi Covid-19
- Tingginya inflasi dunia yang membuat bank sentral AS, The Fed menaikkan suku bunga
- Kekhawatiran geopolitik, seperti perang Rusia dan Ukraina
"Ini akan memberi dampak ke dunia, dimana investor lari ke aset yang lebih aman," kata Roderick, pekan lalu (17/5).
Khusus di Indonesia, menurutnya relatif lebih terjaga. Sebab, ekonomi Indonesia secara makro cenderung stabil. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan ekonomi kuartal I mencapai 5,01% secara tahunan.
Meski begitu, startup Indonesia tetap terkena imbasnya. "Ada perubahan pola pendanaan dan valuasi," katanya.
Menurutnya, investor akan mencari startup Indonesia yang dianggap berkualitas. Sedangkan, dari sisi valuasi akan ada penyesuaian.
Sebelumnya, Co-Founder sekaligus Managing Partner di Ideosource dan Gayo Capital Edward Ismawan mengatakan, sentimen negatif global seperti yang terjadi di Silicon Valley memang bisa berpengaruh ke startup Indonesia.
"Namun, itu mungkin sesaat dan tergantung situasi," kata Edward kepada Katadata.co.id, pekan lalu (12/5).
Ia mengatakan, investor global yang berencana berinvestasi ke startup Indonesia pun bisa saja berpikir ulang melihat kondisi tersebut. Apalagi, menurutnya investor startup saat ini mengamati situasi pasar modal.
"Ini sangat berpengaruh juga ke sentimen di Indonesia," katanya.
Meski begitu, investor akan tetap melihat fundamental startup dan potensi pasar yang masih menjanjikan. Fundamental perusahaan rintisan dilihat dari besarnya pasar, pangsa pasar, dan lintasan pertumbuhan.