Menteri Darmin: Fintech di Indonesia Hadapi Empat Tantangan

ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY
Ilustrasi, Menko Perekonomian Darmin Nasution (paling kanan). Darmin menyebutkan ada empat tantangan industri fintech di Indonesia.
4/9/2019, 13.26 WIB

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, teknologi finansial (fintech) efektif meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia. Namun, dia juga melihat ada empat tantangan terkait industri ini.

Pertama, metode pembelajaran saat ini bersifat praktis sehingga belum mampu mendorong Sumber Daya Manusia (SDM) untuk berinovasi. Selama ini, menurutnya masyarakat Indonesia selalu belajar ilmu praktis, pertambahan, perkalian, pengurangan, matriks, dan sebagainya.

“Kita tidak pernah mengembangkan logika sebetulnya, sehingga sekarang ini SDM cukup kurang yang menguasai basic sampai programmer," kata Darmin saat membuka Indonesia Fintech Forum 2019 di Auditorium Dhanapala, Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (4/9).

Kedua, pemerintah perlu mengantisipasi fenomena winner takes all pada industri fintech. “Yang menang dalam proses, itu diambil semua. Yang lain gugur dalam prosesnya. Ini hubungannya dengan keseimbangan,” kata dia.

(Baca: Darmin: Perlu Ada Kajian Aturan Fintech untuk Antisipasi Risiko Siber)

Ketiga, industri ini rentan terhadap risiko pencucian uang (money laundering). Ia pernah mengatakan bahwa ada tantangan seperti upaya memecah transaksi (smurfing) melalui fintech. Tindakan seperti ini dilakukan karena transaksi melalui fintech dibatasi Rp 100 juta.

Lalu, ada pula persoalan pseudonimity terkait mata uang virtual seperti bitcoin. Hal seperti ini membuat pelaku transaksi tidak dapat diidentifikasi. Darmin ingin persoalan seperti ini diatur dalam kebijakan terkait fintech

Keempat, perlu ada antisipasi penyalahgunaan data pribadi. Apalagi, belakangan sempat beredar kabar bahwa Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Kartu Keluarga (KK) disalahgunakan. Ada juga yang menyebut data pengguna di Gojek, Grab hingga e-commerce dipakai oleh fintech.

(Baca: Kominfo hingga OJK Tanggapi Isu Fintech Pakai Data Gojek dan Grab)

Untuk itu, ia berharap regulator terkait memahami dengan baik lanskap dan ekosistem industri fintech sebelum membuat aturan. “Perlu membuka ruang inovasi. Sebab, fintech harus menjadi pendorong keuangan inklusif saat perbankan tidak mampu menjangkau masyarakat unbankable," kata dia.

Perkembangan Ekonomi Digital di Indonesia

Pada kesempatan itu, Darmin menyebut bahwa ekonomi digital, seperti fintech bisa menyokong perekonomian dunia. Hingga 2016, ekonomi digital berkontribusi sekitar 22% terhadap perekonomian global.

Di Asia Tenggara, kontribusi ekonomi digital terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) mencapai 2,8% pada tahun lalu. Sumbangan diproyeksi naik menjadi 8% pada 2025.

(Baca: Ada 15 Kategori, OJK Buka Peluang Rilis Aturan Baru Terkait Fintech)

Ia melihat, kondisi serupa terjadi di Indonesia. Hal itu terlihat dari pengguna ponsel pintar (smartphone) mencapai 133% dari populasi di Tanah Air. Lalu, yang menggunakan internet sekitar 56% dari populasi.

“Hal ini menunjang perkembangan dari ekonomi digital di nusantara ini. Nilai pasar ekonomi digital Indonesia diproyeksikan US$ 100 miliar pada 2025,” kata Darmin.

Perkembangan fintech di Indonesia pun sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, ada 113 fintech pinjaman (lending) yang terdaftar per Juni 2019. Lalu, Bank Indonesia (BI) mencatat ada 58 fintech pembayaran yang memiliki izin per Agustus 2019.

Hal ini akan membantu pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia dalam memperoleh pembiayaan dan menyediakan layanan pembayaran. Berdasarkan studi oleh PWC tahun ini, disimpulkan bahwa akumulasi pinjaman dari fintech lending mencapai lebih dari Rp 200 triliun pada akhir 2020.

(Baca: Menko Ekonomi Sebut Fintech Lebih Ampuh Dorong Inklusi Keuangan)