Banyaknya pengguna internet menjadikan Indonesia pasar potensial bagi perusahaan berbasis teknologi, seperti e-commerce, teknologi finansial (fintech), berbagi tumpangan (ride-hailing), dan lainnya. Namun, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengaku kesulitan memajaki perusahaan di bidang digital ini.
Dirjen Pajak Kemenkeu Robert Pakpahan mengatakan, potensi ekonomi digital di Indonesia cukup besar. Apalagi 170 juta dari sekitar 260 juta penduduk Indonesia, menggunakan internet. “Setidaknya ada tiga tantangan utama yang kami hadapi (untuk memajaki perusahaan digital) saat ini,” kata dia dalam acara bertajuk Taxation on Digital Economy di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Rabu (17/7).
Ketiga tantangan terkait pajak perusahaan digital, pertama, mewujudkan regulasi yang adil, kompetitif, memberikan kepastian hukum, memudahkan kepatuhan pajak, dan menciptakan sistem perpajakan yang lebih baik.
(Baca: Rudiantara: Google Akan Transaksi dalam Rupiah)
Kedua, bagaimana mengembangkan administrasi pajak saat ini dengan memanfaatkan teknologi. Hal ini bertujuan untuk mengintegrasikan layanan dan meminimalkan biaya terkait perpajakan bagi wajib pajak maupun Ditjen Pajak.
Ada satu tantangan lagi yang dihadapi Ditjen Pajak dalam memungut pajak perusahaan teknologi, yakni ketidakhadiran fisik pihak atau institusi yang menjadi subjek pajak. Padahal, kehadiran fisik menjadi syarat utama otoritas memungut pajak.
“Hal ini membuka ruang yang semakin luas bagi pelaku usaha untuk melakukan tax planning atau tax avoidance," kata Robert. Tax planning atau tax avoidance merupakan upaya untuk mengurangi besaran pajak yang harus dibayarkan perusahaan.
(Baca: Dua Hal Yang Bikin Pemerintah Sulit Tarik Pajak Fintech)
Tantangan tersebut sudah dikaji banyak negara dalam konferensi tingkat tinggi G20 di Osaka, Jepang, akhir bulan lalu. Bahkan, negara-negara G20 memberi mandat kepada Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) untuk mencari solusi jangka panjang terkait persoalan ini.
Kajian OECD tersebut nantinya bakal dijadikan acuan dalam menyusun kebijakan perpajakan terkait ekonomi digital. “Ini akan dikembangkan sebagai konsensus global untuk memperbaiki sistem perpajakan dunia terkait dengan transaksi ekonomi digital," kata Robert.
Untuk sementara ini, Ditjen Pajak mengacu pada Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) dalam memungut pajak perusahaan berbasis digital. Ditjen Pajak pun menunggu kajian dari OECD, supaya pengenaan pajak terutama untuk perusahaan asing tidak menimbulkan sengketa ke depannya.
Isu digital ekonomi khususnya lintas negara tidak mudah ditangani. Namun Ditjen Pajak berkomitmen untuk memformulasikan regulasi dengan tepat dan tetap jaga iklim investasi agar tumbuh dan berkembang. "Kami memonitor dunia sampai ada konsensus global sesuai G20 yang diajukan oleh OECD,"katanya.
(Baca: Belum Ada Konsensus Global Bisa Hambat Pengejaran Pajak Google Cs)