- Jumlah pengguna aplikasi Clubhouse melonjak setelah dipromosikan oleh CEO Tesla Elon Musk.
- Clubhouse dinilai unggul dalam hal eksklusivitas dan audio-chat, namun menghadapi tantangan privasi dan tren video pendek.
- Facebook dan Twitter berencana meluncurkan fitur audio-chat mirip Clubhouse
Aplikasi Clubhouse populer belakangan ini, karena digunakan oleh tokoh di berbagai bidang hingga selebritas dunia, termasuk CEO Tesla Elon Musk. Platform ini menawarkan eksklusivitas dan percakapan berbasis audio, yang dinilai menjadi era baru media sosial.
Setelah dipromosikan oleh Elon Musk dan tokoh lainnya, jumlah pengguna Clubhouse bertambah 1,4 juta kurang dari dua bulan. Kini, jumlah penggunanya sekitar 2,4 juta. Padahal, aplikasi ini baru tersedia di perangkat Apple.
Valuasinya juga meningkat dari US$ 100 juta pada Mei 2020 menjadi US$ 1 miliar saat ini. “Aplikasi audio menjadi lebih menarik, sebagian karena popularitas podcast dan pengguna yang mulai lelah menggunakan Zoom,” kata analis industri teknologi Jeremiah Owyang dikutip dari The Wall Street Journal, Kamis (18/2).
Clubhouse merupakan aplikasi obrolan berbasis audio, yang memungkinkan pengguna mendengarkan percakapan, wawancara, dan diskusi. Konsepnya mirip podcast, tetapi bersifat langsung dan ekslusif.
Aplikasi itu dikembangkan oleh perusahaan di Silicon Valley Alpha Exploration Co. Korporasi ini didirikan oleh Paul Davidson dan Rohan Seth, yang pernah bekerja di Google.
Jeremiah menyebut aplikasi obrolan berbasis audio sebagai ‘Goldilocks’, karena tidak impersonal seperti teks atau seinvasif video. “Aplikasi audio tumbuh pesat selama pandemi corona, karena orang membutuhkan hubungan sosial dan percakapan langsung, yang memberikan lebih banyak empati ketimbang obrolan teks,” ujar dia.
Editor konten di Social Media Today Andrew Hutcherson sepakat bahwa media sosial berbasis suara mengedepankan konektivitas, dan menghilangkan kekhawatiran tentang penampilan. Ia menilai, kunci dari aplikasi Clubhouse yakni menjaga kualitas percakapan.
“Dengan sekelompok kecil pembicara yang berpengaruh dan populer, itu lebih mudah (dalam berinteraksi), tetapi semakin besar hasilnya,” kata Andrew dikutip dari The Wire, pekan lalu (10/2).
Sebelumnya, riset Counterpoint pun menunjukkan bahwa konsumsi audio beralih dari sekadar mendengarkan musik atau streaming music menjadi konten dengan topik tertentu. Pada tahun lalu, tema yang paling banyak dicari yakni pandemi corona.
Stasiun siaran LBC pun mengklaim jumlah pendengar meningkat 15% per April 2020. Sedangkan BBC mencatatkan peningkatan 18%.
Hal itu juga yang membuat popularitas podcast berlanjut. Angka pengguna dan topik yang paling banyak dipilih dapat dilihat pada Databoks dan Infografik di bawah in:
Namun, Andrew juga menilai bahwa audio-chat diminati saat pandemi Covid-19 karena ada kebutuhan untuk berinteraksi secara langsung. “Video live-streaming mengalami peningkatan besar tahun lalu. Clubhouse kemungkinan besar mengikuti gelombang yang sama. ”
Ia pun menilai, Clubhouse potensial karena pengguna dapat memilih konten yang ingin didengar dan dibahas. Konsumen juga bisa masuk dan keluar dari ruang obrolan dengan sekali klik.
Akan tetapi, ia mengingatkan bahwa pemilihan topik penting dalam menggaet pengguna di Clubhouse. “Jika dapat membuat pengguna tetap datang kembali, maka Clubhouse akan menang,” kata Andrew.
Selain itu, Clubhouse menawarkan eksklusivitas. Bukan karena baru tersedia di iPhone atau iPad. Apalagi, Alpha Exploration Co mempertimbangkan untuk hadir di perangkat Android.
Eksklusivitas itu karena butuh undangan untuk bisa membuat akun dan mengikuti obrolan. Saat ini, pengguna dibatasi dua undangan.
Meski begitu, mereka yang belum mendapatkan undangan, dapat mendaftarkan nama di basis data. Aplikasi akan menyimpan detail login, yang bisa digunakan saat platform membuka akses untuk penggunaan massal.
Andrew menilai, eksklusivitas membuat Clubhouse menarik di mata pengguna. Apalagi, setiap orang bisa berinteraksi dengan tokoh dan selebritas seperti Elon Musk, Ashton Kutcher, Mark Zuckerberg, Kanye West, Drake, Kevin Hart, dan banyak lagi.
“Dalam hal ini, Clubhouse benar-benar mendapat manfaat dari pendekatan klub eksklusif khusus undangan. Dengan mendapatkan undangan awal untuk orang-orang terkenal, itu meningkatkan faktor kekhawatiran ketinggalan informasi alias Fear of Missing Out (FOMO),” kata dia.
Akan tetapi, Andrew memperingatkan bahwa tren media sosial terus berkembang. “Clubhouse menambahkan elemen lain (pada platform), tetapi sebagian besar isinya sama (dengan media sosial lain) yang dikemas berbeda. Saya ragu ini akan memiliki dampak jangka panjang yang signifikan pada tren konsumsi konten,” katanya.
Sebelumnya, Path juga membatasi jumlah pertemanan hanya 50 orang untuk menjaga privasi. Lalu, ditambah menjadi 150 orang. Alasannya, hasil penelitian profesor evolusi psikologi Oxford Robin Dunbar menunjukkan, hubungan sosial yang dapat dipertahankan oleh otak manusia hanya 150.
Konsep utama Path yakni eksklusivitas informasi, sama seperti Clubhouse. Jumlah penggunanya pun terus melonjak dari dua juta pada awal 2012 menjadi 10 juta pada Maret 2013.
Namun, Path tersandung persoalan privasi karena mengakses dan menyimpan kontak telepon pengguna tanpa izin pada 2012. Lalu, perusahaan diketahui menyimpan data pengguna di bawah umur, sehingga didenda US$ 800 ribu pada 2013.
Jumlah penggunanya pun terus menurun. Selain karena persoalan privasi, Path kalah saing dari Instagram dan Facebook. Platform ini pun ditutup pada Oktober 2018.
Tantangan Clubhouse
Clubhouse pun disorot soal privasi. Peneliti siber Stanford Internet Observatory (SIO) khawatir data percakapan suara pengguna dikirim ke server di Negeri Panda. SIO melaporkan bahwa infrastruktur back-end perusahaan media sosial itu disediakan oleh perusahaan Tiongkok bernama Agora.
Data-data yang dikirimkan berupa nomor ID pengguna. "Dari data itu, bisa dilihat siapa berbicara dengan siapa," kata SIO dikutip dari The Verge, Minggu lalu (14/2).
Namun, Agora menegaskan tidak memiliki akses untuk membagikan atau menyimpan data pengguna akhir Clubhouse. Perusahaan juga membantah bahwa lalu lintas data suara pengguna di luar negeri dialihkan ke Tiongkok.
Meski begitu, Clubhouse menambahkan enkripsi dan pemblokiran untuk mencegah klien mengirim data ke server Tiongkok. Pengembang juga menyewa perusahaan keamanan eksternal untuk meninjau dan memvalidasi pembaruan aplikasi.
Selain itu, Clubhouse disorot soal konten pelecehan dan rasisme. Perusahaan mengatakan tengah bekerja untuk meningkatkan penemuan konten dan keamanan pengguna untuk mengatasi persoalan tersebut.
CEO startup anti-pelecehan Block Party, Tracy Chou menilai audio lebih sulit untuk moderat dibandingkan teks atau gambar. Ini meningkatkan kekhawatiran tentang bagaimana Clubhouse dan platform berbasis audio lainnya digunakan untuk menyebarkan konten pelecehan.
“Pertumbuhan mereka (Clubhouse) sangat cepat dan tidak membangun semua (langkah) perlindungan,” kata Tracy dikutip dari The Wall Street Journal, Kamis (18/2).
Tantangan lainnya yakni tingginya peminat video pendek. Laporan terbaru Ericsson menunjukkan, pengguna internet dunia akan mengonsumsi lebih dari setengah triliun gigabyte data seluler selama 2020. Sekitar dua pertiga di antaranya untuk streaming dan mengunduh konten video.
Sebagai gambaran, disket yang dibutuhkan untuk menyimpan semua data tersebut, jika disejajarkan maka panjangnya dari matahari hingga jupiter.
Data GlobalWebIndex juga menunjukkan, 90% pengguna internet berusia 16-64 tahun menonton video online setiap bulan. Jumlahnya separuh lebih dari total populasi dunia.
Begitu juga di Indonesia. Itu membuat YouTube dan TikTok populer di Tanah Air, sebagaimana Databoks di bawah ini:
Beda Monetisasi Clubhouse dan TikTok
Selama ini, media sosial seperti Instagram, YouTube, dan TikTok mengandalkan algoritme untuk monetisasi. Mesin pembelajar TiikTok misalnya, mempelajari video yang menarik bari pengguna.
Algoritme itu juga mengevaluasi klip video mulai dari konten, kecepatan, suara, warna, kata, dan lainnya. Hasil analisisnya dapat memberikan rekomendasi yang disesuaikan dengan masing-masing pengguna.
Hal itu juga memungkinkan TikTok menawarkan iklan yang sesuai kepada pengguna.
Sedangkan Clubhouse hanya memproses data suara. Ini berbeda dengan media sosial lain yang mengolah data teks, gambar, dan video untuk dipelajari.
Meski begitu, konten-konten eksklusif pada Clubhouse dinilai dapat dimonetisasi. “Misalnya, dengan mengambil komisi dari biaya masuk ruang obrolan, mirip Twitch milik Amazon.com Inc,” kata kolumnis bidang teknologi di Bloomberg, Tae Kim.
Selain itu, sistem Clubhouse yang berbasis audio-chat dan mewajibkan pengguna mendaftar dengan nama lengkap mempersulit masuknya akun robot. Ini diincar oleh banyak pemilik merek (brand).
Clubhouse juga berbeda dengan podcast, karena pengguna dapat mengajukan pertanyaan atau berinteraksi. “Semua faktor ini sangat penting (bagi brand),” demikian dikutip dari FinancialBrand.
Dengan potensi monetisasi tersebut, Twitter dan Facebook pun berencana meluncurkan fitur audio-chat yang mirip dengan Clubhouse. Twitter sebenarnya sudah mengembangkan ‘tools’ seperti ini bernama Spaces sejak akhir tahun lalu.
Spaces memungkinkan pengguna berbagi klip audio lewat cuitan dan pesan langsung atau direct message (DM). Undangan untuk ruang obrolan diberikan lewat DM atau tautan.
Twitter mengatakan, fitur itu sedang diuji coba.
Facebook juga mengembangkan fitur serupa. “Eksekutif Facebook telah memerintahkan karyawan untuk membuat produk serupa,” kata sumber dikutip dari New York Times, pekan lalu (10/2).
Produk sedang dalam tahap pengembangan paling awal. "Kami telah menghubungkan orang-orang melalui teknologi audio dan video selama bertahun-tahun dan selalu mencari cara baru untuk meningkatkan pengalaman itu bagi orang-orang," kata juru bicara Facebook Emilie Haskell.