Tolak Aturan, Facebook Minta Maaf soal Blokir Berita di Australia

Katadata
Ilustrasi Facebook
22/2/2021, 09.53 WIB

Facebook memblokir konten berita di Australia sejak Kamis (18/2) pekan lalu, karena menolak aturan yang mewajibkan perusahaan membayar ke media lokal. Raksasa teknologi asal Amerika Serikat (AS) ini meminta maaf atas tindakan itu, tetapi tetap menentang regulasi.

Perusahaan mengklaim tidak punya pilihan selain menutup halaman berita di platform di Australia. Facebook menilai, Undang-undang (UU) tentang kewajiban membayar konten berita yang ditayangkan tak tepat.

"Tugas saya sekarang yakni memastikan kami melanjutkan diskusi. Kami akan membawa mereka (pemerintah) ke kesimpulan yang sukses," kata Direktur kebijakan publik Facebook untuk wilayah Asia-Pasifik Simon Milner kepada wartawan dikutip dari The Guardian, akhir pekan lalu (20/2).

Simon pun menegaskan bahwa perusahaan keberatan atas tiga isu terkait UU tersebut. Pertama, menolak diskriminasi outlet berita mengenai pembayaran konten.

Kedua, menolak model arbitrase yang memungkinkan badan independen memilih satu pembayaran di atas lainnya. Ketiga, menentang kewajiban untuk negosiasi komersial dengan perusahaan media Australia.

Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengatakan bahwa pemerintah menyambut baik permintaan maaf tersebut. Namun, pemblokiran konten berita dan akun informasi publik di Facebook tidak dapat dipertahankan.

"Saya senang Facebook telah memutuskan. Tampaknya untuk sementara berteman dengan kami lagi dan memulai diskusi lagi," kata Scott.

Menteri Komunikasi Australia Paul Fletcher mengatakan, langkah Facebook memblokir kontan berita menimbulkan pertanyaan tentang kredibilitas informasi di platform. "Keputusan yang mereka ambil yakni (justru) menghapus semua sumber berita yang berwibawa dan kredibel," katanya kepada radio 2GB. 

Langkah Facebook itu telah berdampak langsung terhadap lalu lintas ke situs di Australia. Berdasarkan data perusahaan analisis yang berbasis di New York, Chartbeat, lalu lintas ke situs berita Australia dari berbagai platform turun 13% sejak sehari sebelum pemblokiran.

Facebook memblokir konten berita karena menolak aturan baru di Australia. Dalam regulasi ini, arbitrator yang ditunjuk oleh pemerintah akan memutuskan harga yang harus dibayarkan, jika negosiasi antara perusahaan teknologi dan media buntu.

Itu dilakukan untuk memastikan peningkatan persaingan, perlindungan konsumen, dan lanskap media yang berkelanjutan. Pada tahun lalu, Google menjaring 47% dari pengeluaran iklan secara online, tidak termasuk iklan baris di Australia. Lalu, Facebook mengklaim 24%.

Di satu sisi, perusahaan-perusahaan media berhenti mencetak lusinan surat kabar utama di seluruh Australia karena pandemi Covid-19. Hal ini berdampak juga kepada para pengiklan.

Tuntutan terhadap Facebook dan Google (Katadata)

Berbeda dengan Facebook, Google telah menandatangani perjanjian dengan beberapa penerbit besar di Australia, termasuk News Corp, Nine Entertainment, dan Seven West Media. Padahal, sebelumnya mereka mengancam akan berhenti menyediakan layanan mesin pencarian di Negeri Kanguru.

Hal itu karena Google memang sudah menyiapkan US$ 1 miliar atau Rp 14 triliun untuk membayar konten berita berlisensi. Vice President of Product Management for News Google Brad Bender menyadari bahwa pendapatan kantor berita dari iklan turun selama pandemi corona.

Oleh karena itu, perusahaan sepakat untuk membayar konten yang ditampilkan. Google pun sudah menandatangani kesepakatan lisensi dengan sekitar 200 media di sejumlah negara seperti Jerman, Brasil, Argentina, Kanada, Inggris, Australia, India, Belgia, dan Belanda.

Upaya Australia membuat kebijakan baru yang mewajibkan platform media sosial membayar konten berita juga akan diikuti oleh negara lain. India, Kanada, dan Inggris sedang mengkaji reaksi Facebook terhadap regulasi tersebut.

Menteri Warisan Kanada Steven Guilbeault mengatakan bahwa negaranya akan mengadopsi pendekatan Australia terkait UU baru yang dikaji dalam beberapa bulan ke depan.

"Kanada berada di garis depan pertempuran ini. Kami benar-benar di antara kelompok negara pertama di dunia yang ingin menerapkan aturan ini," kata Guilbeault dikutip dari Foxbusiness, Minggu (21/2).

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan