Presiden Tiongkok Xi Jinping menargetkan negaranya menjadi pemimpin inovasi pada 2035 dan negara adidaya teknologi global di 2050. Namun, langkah Beijing menekan raksasa teknologi seperti Alibaba hingga Tencent dinilai mempersulit pencapaian target ini.
Pemerintah Tiongkok menerapkan aturan baru antimonopoli sejak Februari (7/2). Selain itu, menginvestigasi Alibaba terkait dugaan monopoli dan meminta perusahaan afiliasi, Ant Group menunda pencatatan saham perdana alias IPO akhir tahun lalu.
Beijing juga mendenda beberapa raksasa teknologi, termasuk Alibaba dan Tencent. “Ini (langkah pemerintah Tiongkok) paradoks,” kata rekan senior di Peterson Institute for International Economics (PIIE) Nicholas Lardy dikutip dari CNN Internasional, Senin (7/6).
Ia menyampaikan, para pemimpin di Negeri Panda ingin mengurangi ketergantungan pada teknologi Barat sejak beberapa tahun terakhir. Utamanya, setelah Amerika Serikat (AS) memblokir sejumlah perusahaan Tiongkok.
Sedangkan perusahaan yang mendorong inovasi dan pengembangan teknologi di Negeri Tirai Bambu bukanlah berpelat merah. Sedangkan data China Enterprise Confederation menunjukkan, swasta seperti Huawei dan Alibaba berkontribusi besar untuk mewujudkan Tiongkok sebagai negara adidaya teknologi.
Sektor swasta juga menyumbang hampir dua pertiga dari produk domestik bruto (PDB) Negeri Panda. Selain itu, merekrut 80% pekerja.
Profesor di Universitas Bocconi di Italia, Sonja Opper menyatakan bahwa raksasa teknologi Tiongkok mampu berkembang karena beberapa alasan, salah satunya kebebasan. “Tingkat kebebasan ini memungkinkan (mereka) mendorong produktivitas dan inovasi yang tidak terlihat di perusahaan milik negara mana pun di Tiongkok,” katanya.
Namun kini Tiongkok memperketat pengawasan terhadap raksasa teknologi. Alibaba kehilangan kapitalisasi pasar lebih dari US$ 240 miliar sejak pengumuman IPO Ant Group ditunda.
Lalu nilai pasar Tencent hilang US$ 173 miliar sejak puncaknya pada Januari. Perusahaan e-commerce Pinduoduo, JD.com, dan raksasa pesan-antar makanan Meituan kehilangan total US$ 231 miliar sejak Februari.
Opper menyampaikan, investor mungkin kehilangan minat untuk berinvestasi ke perusahaan swasta Tiongkok. “Ini jika mereka khawatir tentang campur tangan pemerintah yang tidak diinginkan," ujar dia. Apalagi, beberapa proyek teknologi biasanya membutuhkan waktu lama.
Pendiri induk TikTok, ByteDance, Zhang Yiming pun mengundurkan diri dari posisi CEO baru-baru ini. Sebelumnya, Colin Huang mundur dari jabatan ketua Pinduoduo.
Sedangkan co-Founder Alibaba Jack Ma hanya muncul ke publik tiga bulan sekali sejak Beijing meminta Ant Group menunda IPO pada November tahun lalu.
Namun juru bicara ByteDance mengatakan bahwa Zhang mundur bukan karena pemerintah. Hal senada disampaikan oleh juru bicara Pinduoduo.
Meski begitu, peneliti di Hinrich Foundation dan di National University of Singapore, Alex Capri menilai, langkah Zhang mundur merupakan bukti bahwa ketakutan mengalahkan ambisi. “Atmosfer yang menyelimuti lanskap teknologi Tiongkok menjadi semakin beracun,” ujarnya.
Langkah Xi memperketat pengawasan terhadap raksasa teknologi dinilai untuk mengurangi sumber kekuatan alternatif, yang pada akhirnya dapat menantang dominasi Partai Komunis. "Para pemimpin perusahaan teknologi menjadi terlalu kuat untuk kenyamanan Xi dan Partai Komunis," kata direktur SOAS China Institute di SOAS University of London Steve Tsang.
Oleh karena itu, para petinggi raksasa teknologi, secara individu, mengambil tindakan untuk meyakinkan Partai dan Xi bahwa mereka tidak akan menantang pemerintah. CEO Tencent Pony Ma dan CEO Xiaomi Lei Jun misalnya, menjabat sebagai anggota Kongres Rakyat Nasional Tiongkok.
Lalu CEO Baidu Robin Li dan CEO NetEase William Ding menjadi anggota Konferensi Konsultatif Politik Rakyat Tiongkok. Sedangkan Jack Ma menempati posisi anggota Partai Komunis.